AQLpeduli, Khazanah – Kehidupan ibarat mengarungi lautan, keimanan menjadi kapal, nahkodanya adalah ketaatan, tepi pantai adalah akhirat. Penggalan kalimat itu merupakan perkataan Lukmanul Hakim yang diabadikan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya “Fathu Rabbani Wal Faidhur Rahmaani”.
Rangkaian pesan Lukman tersebut sangat sederhana, namun mengandung makna sangat dalam. Darinya, seseorang bisa memaknai tujuan hidup. Hidup ibarat mengembara di tengah lautan lepas. Jika tak memiliki kapal yang kuat dan nahkoda yang cerdas, maka tak akan sampai ke tepian dengan selamat. Lukman ingin menegaskan, kehidupan di dunia sangat sia-sia jika diisi dengan kemaksiatan.
Banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi secara keduniawian, tapi jiwanya rendah. Kondisi jiwa seseorang sangat mempengaruhi dalam memutuskan arah hidup ke depan. Ibarat sebuah bejana, wadah itu hanya akan mengeluarkan isinya. Seperti jiwa seseorang, jika diisi dengan kebaikan, maka akan mengeluarkan kebaikan pula. Sebaliknya, jiwa yang terus dipupuk dengan keburukan, tentu akan melahirkan kehinaan di dunia dan akhirat.
Seperti jaringan seluler yang mendukung aktivitas komunikasi manusia. Jaringan seluler itu ditebar ke mana-mana, namun tak semua merek telepon pintar bisa menangkapnya dengan baik. Jika telepon pintar itu memiliki kualitas yang baik, maka pasti bisa menangkap jaringan yang berkualitas pula. Telepon dengan kualitas rendah, hanya akan menimbulkan kekecewaan.
Manusia seharusnya selalu meningkatkan kualitas diri agar mudah mendapatkan dan mengerjakan kebaikan. Misalnya, seseorang memiliki cita-cita untuk mengamalkan zikir terbanyak dalam suatu daerah. Tentu di daerah itu, dia yang akan pertama kali mendapatkan semua keutamaan zikir, karena kualitas jiwanya sangat baik. Ini tidak main-main. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling banyak mengingat Allah SWT.
Perbedaan Orang Mukmin dan Orang Kafir dalam Berbekal
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan perbedaan mendasar kehidupan orang mukmin dan orang kafir di dunia ini. Orang mukmin menganggap dunia hanya tempat singgah, sehingga mereka mengumpulkan bekal kebaikan sebanyak mungkin agar bisa selamat di akhirat kelak. Sementara orang kafir melakukan hal berbeda. Orang kafir tak memiliki orientasi akhirat, sehingga setiap waktu dihabiskan dengan foya-foya semata. Orang kafir hanya mencari kesenangan dunia semata. Kesenangan yang bersifat sesaat.
Bagi orang mukmin, harta adalah titipan. Kapan pun Allah bisa mengambilnya. Atas dasar itu, mereka qanaah dengan harta yang dimiliki. Mereka menjadikan harta sebagai wadah untuk mengumpulkan bekal kebaikan di akhirat. Harta banyak maupun sedikit selalu didedikasikan untuk kehidupan akhirat kelak. Maka tak heran, orang mukmin tidak pernah pusing dengan harta yang mereka miliki. Mereka qanaah dengan harta yang sedikit, tapi memberi yang banyak.
Bagi orang mukmin, harta di tangan adalah untuk akhirat. Hati mereka terfokus untuk akhirat. Dunia telah terputus dalam hati orang mukmin itu. Mereka mendedikasikan segenap potensinya untuk ketaatan keapda Allah, bukan untuk dunia.
Di dunia ini cukup mencari dan membawa yang dibutuhkan, tidak mencari yang diinginkan. Semua obsesi orang mukmin untuk akhirat. qalbu mereka telah terputus untuk dunia. Semua ketaatan untuk akhirat, bukan dunia yang fana.
Saat orang mukmin memiliki makanan lezat, maka dia mengutamakan orang fakir. Hatinya tak tenang jika menikmati makanan lezat, sementara ada tetangaanya yang kelaparan. Ini karena orang mukmin meyakini, ketika menanam kebaikan untuk akhirat, maka dia akan diberi makanan yang lebih baik di akhirat dan pasti lebih lezat. Puncak obsesi orang mukmin adalah pintu-pintu kebaikan terbuka agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Hati mereka membuka pintu pertemuan dengan Allah di dunia, sebelum bertemu dengan-Nya di akhirat kelak.
Orang mukmin itu sudah merasakan kebersamaan dengan Allah sejak masih hidup di dunia. Apa pun yang dia kerjakan, selalu diniatkan untuk Allah. Dia menjadikan dunia sebagai jembatan pertama untuk terhubung kepada Allah sebelum melakukan perjalanan ke akhirat. Hatinya dihiasi dengan zikir.
Orang yang membiasakan diri berzikir, maka hatinya akan menjadi lembut. Mulutnya mungkin diam, tapi hatinya bergumam bertasbih kepada Allah. Mereka tak seperti orang yang memiliki hati kosong, ia menangis karena menonton drama di layar kaca, tapi tak menangis di hadapan Allah.
Niat orang mukmin itu selalu untuk akhirat. Aktivitas harian mereka untuk akhirat. Mereka adalah manusia unggulan sesungguhnya. Manusia unggulan yang selalu mencari yang terbaik.
Jujur dan Sungguh-Sungguh Memohon kepada Allah
Orang mukmin tidak pernah menjadikan mahluk sebagai penolong. Betapa pun kesulitan yang tengah dihadapi, hatinya pasti terhubung kepada Allah untuk meminta pertolongan. Tergantung tingkat kejujuran hati seseorang kepada Allah, maka seperti itu pula Dia memberikan pertolongan. Kejujuran hati itu meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu ada untuk hamba-Nya.
Misal, jika sudah berdoa kepada Allah, hapus semua keraguan. Tanamkan keyakinan terhadap kemampuan Allah. Hati yang jujur tidak pernah memberikan porsi keraguan terhadap kemampuan Allah. Ini banyak terjadi. Kita harus hati-hati pada hati kita sendiri. Jika ada was-was dalam hati, maka pasti zikir maupun doa yang terucap bukan untuk Allah.
Sama halnya jika sudah memilih jalan sebagai penerus risalah. Jalan dan serahkan semua kepada Allah. Dia Maha Tahu jika hamba-Nya capek. Namun justru yang menanamkan rasa tenang di dalam hati adalah sibuk dalam kebaikan. Semua tergantung pada kejujuran batin. Kejujuran keimanan adalah kekuatan keyakinan seseorang kepada Allah.
Keimanan kepada Allah akan menutupi kelelahan. Tak perlu protes jika mendapati perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cukup kerjakan perintah itu, perlahan Allah akan membukan pemahaman tentang perintah yang tengah dikerjakan. Setiap kali seseorang memulai perbuatan baik, maka besok akan mendapat yang lebih baik dari hari ini. Begitu seterunya sampai ke akhirat kelak. Maka, selalu berorientasi kepada akhirat menjadi kewajiban.
Robohkan Dinding Penghalang Menuju Allah
Syekh Abdul Qadir pernah memberi nasihat mendalam tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup di dunia. Beliau berkata, “Patuklah telur keberadaanmu dengan paruh kejujuranmu, dan hilangkan penghalangmu terhadap mahluk dan keterikatan kepada mereka dengan keikhlasan dan tauhid kepada Allah. Pecahkanlah sangkarmu dengan tangan kezuhudan.”
Ungkapan Syekh Abdul Qadir itu sangat dalam. Eksistensi keberadaan manusia terkungkung, sehingga tidak bisa melihat kekuasaan Allah karena ditutup oleh dunia. Maka manusia harus memecahkan dinding penghalang itu dengan kejujuran iman kepada Allah.
Hidup di dunia dikelilingi lengkuk yang luas dan besar, ketika seseorang menggunakan cangkul keikhlasan dan tauhid, maka dia tidak lagi dibatasi oleh nilai-nilai dunia. Dari situ seseorang mendapatkan kemerdekaan, karena tidak menjadi hamba mahluk.
Seumpama ada tembok yang menghalangi pandangan hati seseorang kepada Allah, maka tembok itu harus dirobohkan dengan cangkul keikhlasan dan tauhid. Dengan begitu, tidak ada lagi yang menghalangi pandangan hati seseorang kepada Allah.
Di sini Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sangat pandai menggunakan diksi. Sebab, jika sebuah dinding hanya dirobohkan saja, maka masih ada puing-puing yang menghalangi. Tapi kalau dicangkul, artinya tidak ada lagi yang tersisa, sehingga pandangan hati kepada Allah menjadi sangat jelas.
“Pecahkan sangkarmu dengan tangan kezuhudan.” Artinya, pecahkan sangkar atau nilai-nilai dunia dalam hati dengan kekuatan zuhud kepada akhirat. Condongkan hati kepada akhirat, sehingga membuat kita tak seperti burung dalam sangkar. Burung akan sengsara meski dalam sangkar emas. Dengan memecahkan sangkar itu dengan tangan kezuhudan, maka kita akan terbebas dan merdeka kembali kepada Allah.
Orang yang berorientasi akhirat itu membebaskan diri dari sangkar fikiran, hati, dan kenikmatan dunia. Seseorang harus keluar dari belenggu itu dengan kekuatan zuhud. Itu akan menciptakan kemerdekaan. Jika sudah keluar dari sangkar, maka orang itu akan terbang dengan qalbu yang penuhi obsesi akhirat, sehingga bisa sampai ke tepi pantai kedekatan kepada Allah.
Kehidupan itu seperti lautan lepas. Saat sudah terbebas, ambisi sudah dipenuhi ambisi akhirat, maka pada saat itu akan datang kepada kita nahkoda dan kapal pemberi pertolongan. Dengan kapal dan nahkoda yang handal, akan membawa seseorang menyeberangi lautan dunia menuju Allah.
Menyeberangi Lautan Dunia Menuju Akhirat
Lukmanul Hakim pernah memberi nasihat. Kehidupan itu lautan. Keimanan itu kapalnya, nahkodanya adalah ketaatan, tepi pantai itu adalah akhirat. Lukman menggambarkan kehidupan seperti lautan, ketaatan menjadi nahkoda, iman menjadi kapal, dan tepi pantai adalah akhirat. Ini adalah karakter yang digambarkan agar bisa selamat menuju akhirat.
Hidup di dunia tanpa kapal iman yang kuat, maka pasti tak bisa sampai ke tepian pantai. Kapal itu bisa saja dihantam ombak besar hingga bocor, sehingga tenggelam ke dalam lautan dunia. Demikian pula jika tak memiliki ketaatan kepada Allah, maka sudah dipastikan tidak bisa berlayar sampai ke akhirat.
Lukman juga memberi peringatan kepada orang yang suka bermaksiat dengan kesia-siaan. Jika tidak taubat kepada Allah, maka dalam waktu dekat orang itu akan buta dari cahaya-Nya. Orang buta tidak tau apa yang diputuskan. Tidak memiliki visi menuju akhirat karena kemaksiatan. Orang gemar bermaksiat akan bisu, tidak bisa amar makruf nahi munkar, ditelan oleh waktu, dan berujung pada kefakiran.
Maka itu, di setiap pertempuran, Umar bin Khattab selalu memeriksa apakah tentara muslim ada yang bermaksiat atau tidak. Jika tidak ada yang bermaksiat, maka Allah pasti akan memberi kemenangan. Namun, jika ada satu saja dari tentara Islam yang bermaksiat, maka itu akan menjadi penghalang datangnya pertolongan Allah. Semua akan tenggelam ke dalam lautan dunia yang fana. Untuk itu, Lukman mengingatkan agar manusia selalu bertaubat kepada Allah
Di sisi lain, Lukman juga mengingatkan agar tidak syirik dengan harta yang dimiliki. Tidak bersandar pada harta. Keluarkan harta duniawi dari hati, agar bersih saat menghadap Allah. Keluarkan harta dari dalam hati agar tidak ada lagi kesombongan. Ketamakan pada dunia, hilangkanlah. Kepada angan-angan, pendekkanlah.
Sungguh, hidup di dunia adalah ujian. Manusia diuji dengan berbagai kesenangan duniawi. Mereka yang menjadikan akhirat sebagai tujuan akan mendapat derajat tinggi di sisi Allah SWT. (Admin)