AQL Peduli, Khazanah – Kehidupan di dunia terlampau singkat. Kesenangan bak fatamorgana, ia tak memberikan kebahagiaan hakiki. Berbanding terbalik dengan kehidupan akhirat yang kekal. Akhirat menawarkan kenikmatan hakiki dan siksaan pedih. Tergantung cara manusia hidup di dunia. Hidup dalam kubangan maksiat tentu berujung kepedihan. Hidup dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, kebahagian hakiki yang dijanjikan akan dirasakan tanpa ujung.
Kehidupan dunia hanya persinggahan. Seumpama seorang musafir yang singgah berteduh di bawah pohon. Ia akan mengambil bekal untuk melanjutkan perjalanan. Bekal itu akan menentukan perjalanan selanjutnya. Berbekal amalan syurga atau amalan neraka.
Allah yang Maha Penyayang sesungguhnya menginginkan semua hamba-Nya merasakan kenikmatan surgawi. Maka itu, Dia menurunkan sebuah kitab petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW agar manusia tidak salah jalan. Dalam kitab itu, Allah menerangkan jalan yang harus dilalui agar selamat dunia akhirat. Kemuliaan dan kebenaran Al-Qur’an tidak bisa diragukan. Ibarat, tidak ada satu pun mahluk di muka bumi yang mampu menandingi kemuliaan kitab suci tersebut.
Malaikat Jibril menjadi penghulu para malaikat, karena dia yang bertugas menyampaikan wahyu. Nabi Muhammad menjadi imam para nabi dan rasul, karena Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan langkah agar manusia bisa merasakan kenikmatan Al-Qur’an. Al-Qur’an harus menjadi subjek yang mempengaruhi jiwa manusia. Objek yang dipengaruhi itu adalah qalbu manusia. Jika tak mencapai level itu, maka ada syarat yang harus dipenuhi yakni memaksimalkan pendengaran. Lalu, menyingkirkan segala penghalang untuk mendapatkan kemuliaan Al-Qur’an.
Empat langkah ini sebenarnya termaktub dalam surat Qaf ayat 37; “Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
Sifat Al-Qur’an itu adalah bariyah (kemuliaan). Orang yang di dalam hatinya adalah Al-Qur’an, maka melekat pula kemuliaan pada dirinya. Al-Qur’an harus menjadi subjek. Hidup bersama Al-Qur’an. Berakhlak dengan Al-Qur’an. Bergaul dengan masyarakat seperti perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an akan meresap ke dalam jiwa manusia yang memiliki qalbu yang hidup. Mereka adalah orang yang memfokuskan pendengaran pada pesan-pesan Al-Qur’an. Matanya selalu tertuju pada ayat-ayat Allah. Tubuhnya dalam kondisi kesadaran penuh menerima pesan Al-Qur’an.
Setelah ada subjek yang mempengaruhi, maka objek yang dipengaruhi itu adalah qalbu. Saat membaca Al-Qur’an, timbul kesadaran penuh bahwa kita tengah bercakap-cakap dengan Allah. Tuhan yang Maha Pengasih itu tengah memberi peringatan dan pesan-pesan kehidupan melalui ayat-ayat-Nya. Maka hati harus fokus pada apa yang dibaca. Mengahatinya, mentadabburi kandungannya, mengamalkan dalam kehidpan sehari-hari, lalu mengajak manusia untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Lalu bagaimana jika masih berada pada tahap awal, atau belum sampai pada level qalbu yang hidup. Maka yang harus dilakukan adalah memfokuskan pendengaran saat membaca Al-Qur’an. Pendengaran manusia memiliki keterbatasan. Telinga tidak bisa fokus mendengar banyak suara dalam satu waktu. Beda dengan mata yang bisa menangkap banyak warna dalam satu waktu. Maka jalan terbaik adalah fokus mendengar apa yang diucapkan oleh mulut saat membaca Al-Qur’an.
Lalu langkah terakhir adalah penghalang. Apa yang membuat seseorang terhalang dari Al-Qur’an? Penghalang seseorang mendapatkan manfaat Al-Qur’an adalah hati yang lalai. Saat mata tengah membaca Al-Qur’an, namun hatinya tidak hadir. Ia menghayal, tak menghiraukan apa yang dibaca oleh mulut, apa yang didengar oleh telinga. Maka penghalang inilah yang harus disingkirkan agar bisa mendapatkan kemuliaan Al-Qur’an.
Percayalah, tidak ada narasi yang paling hebat kecuali narasi Al-Qur’an. Jadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, maka kesalamatan dunia akhirat akan didapatkan dengan mudah. (Admin)