cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Menjadi Orang Bahagia Setiap Saat

AQL Peduli, khazanah– Orang yang rutin membaca Al-Qur’an pasti sering menemukan kata Al-Fauz (kemenangan, keberuntungan, dan kebahagiaan). Tapi hanya sedikit orang yang tergerak hatinya untuk mentadabburi makna di balik kata tersebut. Seperti apa karakteristik orang yang akan meraih kemenangan hakiki itu?

Kadang makna kemenangan disempitkan hanya dalam perspektif manusia. Makna itu muncul dari ambisi duniawi yang terlalu sempit. Kemenangan hanya diletakkan pada sisi kesenangan semata, seperti berhasil jadi penguasa, menjadi kaya raya, atau berhasil menaklukkan musuh. Padahal Al-Qur’an memiliki makna tersendiri dan jauh lebih luas.

Allah SWT berfirman dalam Al’Qur’an; “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139)

Dalam ayat ini, Al-Qur’an menunjukkan bahwa orang dikatakan menang jika berhasil menjadi orang beriman. Sebab, orang beriman adalah manusia pilihan Tuhan yang mampu menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi. Mereka juga menyadari bahwa tujuan hidup dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Kesadaran itu adalah kemenangan. Mereka mampu mengalahkan nafsu duniawi. Mereka mampu meletakkan dunia di telapak kaki, sehingga hatinya hanya berserah pada ketetapan Allah.

Hal ini yang melandasi prinsip para pejuang di jalan Allah. Mereka meyakini bahwa tugas seorang hamba hanya berjuang, dan kemenangan itu milik Allah. Prinsip semacam ini sangat banyak dalam literasi Al-Qur’an maupun Sunnah. Sebut saja ketika Allah mengingatkan bahwa tugas nabi dan rasul adalah mengajak pada tauhid, persoalan hidayah Allah yang menentukan apatah diberikan kepada orang yang diajak atau tidak.

Keyakinan semacam ini akan memberikan ketenagan dalam hati. Dunia terlihat sangat kecil, sehingga tak punya ambisi untuk mendapatkan materi dunia. Meski berjuang mencari nafkah, itu diniatkan untuk ibadah kepada-Nya, sehingga perjuangan itu diganjar pahala di sisi-Nya.

Sebagai hamba, tak perlu mendikte Tuhan atas keinginan-keinginan sesaat kita. Misalnya dalam perjuangan, meminta agar musuh dikalahkan di depan mata. Allah Mahatahu mana yang terbaik. Bisa jadi Allah menguatkan musuh agar kita diberi nikmat kesabaran, keikhlasan, dan keistiqomaan dalam berjuang. Sehingga itu akan menjadi ladang pahala, dan tentu akan mendapat ganjaran surga di akhirat kelak.

Kisah Nabi Musa dan Fir’aun menjelaskan hal ini. Allah memang memperlihatkan kemenangan di depan mata Bani Israil kala itu, dengan tenggelamnya Fir’aun di laut merah. Tapi apakah itu semakin mendekatkan mereka kepada Tuhan? Justeru mereka membuat patung emas berbentuk sapi dan dijadikan sekutu bagi Allah.

Kalau ukuran menang harus di depan mata, banyak nabi dan rasul yang gagal dalam perspektif demikian. Contohnya Nabi Zakariah yang dibunuh, Yahya bin Zakariah juga demikia. Bahkan Isa putra Maryam disalib oleh kaumnya sendiri. Apakah mereka kalah? Belum tentu.

Maka di sinilah pemahaman tentang kemenangan sangat penting ditinjau dari perspektif Al-Qur’an. Orang yang melakukan pendekatan Al-Qur’an dalam memahami sebuah masalah akan memahami bahwa menang tak harus berkuasa, tak harus kaya raya, menang ketika hati menjadi tentram karena dipenuhi ketakawaan.

Maka di sinilah kemenangan itu diterangkan oleh A-Qur’an. Kita harus meyakini terlebih dahulu bahwa ini adalah kalamullah, kalimatullah. Kembali ke Allah duli, jadi akhirnya tenang dan menang kita. Kemenangan itu tidak harus berkuasa.

Contoh, ketika Musa menang di hadapan Fir’aun, apakah dia menjadi penguasa? Tidak. Makanya orang yang sudah terang pikirannya, maka dia akan meyakini bahwa tugas hamba hanya berjuang, namun kemenangan itu milik Allah. karena aturan alam ini sudah dirubah. Akan menjadikan terang di mata kalau kita tunduk dan percaya terhadap Alquran.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Bukankah ketakawaan adalah kemenangan sejati. Bagi orang bertakwa, tidak ada bedanya berada dalam posisi berkuasa atau dikuasai, karena ia telah menyerahkan hidupnya hanya kepada Allah saja. Itu kenikmatan sangat luar biasa. Di mana pun berada, ke mana pun pergi, kapan pun selalu merasa bahagia, karena sejatinya ia sudah menjadi pemenang dalam perspektif Al-Qur’an.

Ingat satu hal, Allah memberikan hamba-Nya apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Boleh jadi keinginan bertentangan dengan kebutuhan, sehingga Tuhan tidak mengabulkan keinginan itu, dan menggantinya dengan yang dibutuhkan. Maka tugas kita, tawakal kepada Allah atas semua ketentuan-Nya. (Admin)

Sumber: Ceramah Ustaz Bachtiar Nasir

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code