AQL Peduki, Majene – Sejatinya, bencana alam merupakan gambaran kecil hari kiamat. Al-Qur’an menjelaskan hal itu. Kala manusia seperti laron yang beterbangan, harta benda tak lagi berharga. Dalam benak manusia hanya keselamatan diri masing-masing.
Hal itu terlihat jelas jika mengunjungi Majene-Mamuju saat ini. Sangat mudah menemukan rumah mewah yang ditinggal penghuninya. Mereka memilih tinggal di bawah tenda darurat berbaur dengan para pengungsi dari berbagai kalangan. Tidak ada lagi sekat antara kaya dan miskin, pejabat atau rakyat, semua sama. Mereka memikirkan kesalamatan agar tak terlumat gempa.
Salah satu contoh daerah yang menggambarkan hal itu adalah Tapalang Barat, Mamuju, Sulawesi Barat. Daerah ini berada di pesisir. Rumah berderetan, namun tak ada penghuni. Mereka mengungsi ke gunung karena takut terjadi tsunami. Terlebih lagi gempa susulan masih sering terjadi. Itu tentu menimbulkan trauma bagi mereka.
Hal serupa terjadi di sepanjang jalan poros Majene-Mamuju, tenda-tenda berdiri di depan rumah. Alasan mereka tergolong simple, takut terkana reruntuhan jika saja gempa berkekuatan besar kembali menggoncang wilayah.
Pemandangan itu tidak membedakan antara orang kaya dan orang miskin. Justeru pemilik rumah mewah di daerah ini lebih takut tidur di dalam rumah. Jadinya, sejauh mata memandang akan didapati banyak rumah bertingkat namun penghuninya tetap tidur di halaman rumah, atau mereka mengungsi ke gunug.
Di Mamuju, jauh lebih parah. Daerah itu merupakan wilayah paling terdampak bencana alam tersebut. Rumah dan gedung pemerintahan roboh ada di mana-mana. Rumah retak juga sangat banyak. Pemandangan itu sangat lazim. Jalanan di pegunungan penuh dengan pengungsi.
Pemandangan demikian menjadi pengingat bahwa tak perlu berlelah-lelah mencari dunia. Secukupnya saja. Toh pada akhirnya harta benda akan kembali ke bumi, dan kita manusia tak mendapatkan apa-apa kecuali harta yang dibelanjakan untuk amal saleh.
Cinta dunia di sini adalah kondisi seseorang mencintai kesenangan dunia baik berupa harta, wanita, atau takhta sehingga membutakan hatinya dan lalai terhadap akhirat. (Lihat QS Al A’la 16-17, Al Qiyamah 20-21).
Al Baihaqi dalam kitab Syu’ab Al Iman meriwayatkan hadis berbunyi, “Hubbuddunya ra’su kulli khathi’ah (cinta dunia adalah biang semua kesalahan).
Cinta dunia yang sudah membutakan hati mendorong seseorang berani korupsi, merampok, berjudi, dan melakukan kemaksiatan lainnya.
Rasulullah bersabda, “Tiadalah cinta dunia itu menguasai hati seseorang, kecuali dia akan diuji dengan tiga hal, yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.” (HR Ad Dailami).
Allah SWT juga menimpakan berbagai musibah kepada suatu kaum jika cinta dunia mendominasi relung hati mereka.
Rasulullah bersabda, “Umatku akan selalu dalam kebaikan selama tidak muncul cinta dunia kepada para ulama fasik, qari yang bodoh, dan para penguasa. Bila hal itu telah muncul, aku khawatir Allah akan menyiksa mereka secara menyeluruh.” (Lihat kitab Ma’rifat As Shahabah karangan Abi Nu’aim, juz 23 hal 408).
Rasulullah mengkhawatirkan masa depan umat ini bila umatnya menguasai dunia. Beliau bersumpah, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan, tapi aku khawtir seandainya dunia ditaklukkan kamu sekalian seperti ditaklukkan orang-orang sebelum kamu, akibatnya kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan dunia pun menghancurkan kamu seperti menghancurkan mereka (HR Bukhari dan Muslim).
Mengapa cinta dunia disebut sebagai pangkal semua bentuk dosa dan kesalahan serta merusak keberagamaan seseorang? Ini bisa ditinjau dari beberapa aspek.
Pertama, mencintai dunia yang berlebihan akan menimbulkan sikap mengagungkannya. Padahal, dunia di hadapan Allah sangat rendah. Mengagungkan apa yang dianggap hina oleh Allah termasuk dosa besar.
Kedua, Allah melaknat dunia dan membencinya, kecuali dunia yang digunakan untuk kepentingan agama-Nya. Siapa mencintai yang dilaknat Allah, dia dibenci Allah dan diuji-Nya. Ad Daylami meriwayatkan hadis yang menyatakan, dosa besar yang paling besar adalah cinta dunia.
Ketiga, kalau seseorang cinta dunia berlebihan, dunia jadi sasaran akhir hidupnya. Orang itu akan menjadikan akhirat sebagai sarana mendapatkan dunia. Seharusnya, dunia ini dijadikan wasilah untuk menanam investasi akhirat.
Keempat, mencintai dunia akan menghalangi seseorang dari urusan akhirat. Selain itu, menghalangi mereka dari keimanan dan syariat. Cinta dunia bisa merintangi mereka menjalankan kewajiban atau minimal malas berbuat kebajikan.
Kelima, mencintai dunia mendorong kita menjadikan dunia sebagai orientasi hidup.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah memberikan kekayaan dalam hatinya, mengumpulkan semua usahanya, dan dia akan dihampiri dunia walaupun dia enggan. Dan barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah menjadikan kefakiran di depan matanya dan menceraiberaikan usahanya dan tidak dibagikan dunia kepadanya, kecuali yang sudah ditakdirkannya.” (HR At Turmudzi).
Keenam, pencinta dunia disiksa berat dalam tiga tahapan. Di dunia tersiksa dengan berbagai kepayahan dalam mencarinya, di alam kubur merasa sengsara karena harta dunia yang telah dicarinya tidak dibawa ke alam barzah.
Di alam akhirat, dia akan menjumpai kesusahan berat saat dihisab. Siksa inilah yang ditegaskan surah At-Taubah ayat 55.