AQL Peduli, Khazanah – Kematian datang tepat waktu. Malaikat maut tak memberi toleransi kepada mereka yang kaya, miskin, penguasa, rakyat, bahkan dokter sekalipun. Tak luput sehari sering terdengar berita kematian dari pengeras suara di masjid, atau pu pengumuman melalui social media. Kematian selalu mengintai.
2020 lalu adalah tahun duka. Dibuka dengan hujan deras yang mengakibatkan banjir bandang di sejumlah titik vital ibu kota. Kemudian disambut berbagai bencana longsor di berbagai daerah. Banjir yang menghanyutkan rumah warga. Berita-berita korban meninggal dunia pun menghiasi jagat maya.
Musibah khas daerah tropis belum usai, Covid-19 mewabah di Indonesia. Wabah itu tak terlihat. Namun mahluk super kecil itu memakan ribuan korban jiwa. Sampai hari ini, 24 ribu lebih korban meninggal dunia. Tak seorang pun mengetahui apatah besok adalah hari kematiannya, ataukah hari ini. Banyak contoh muda-mudi masih bercengkrama ria namun tiba-tiba berita kematiannya tersiar.
Musibah tak kunjung usai. Corona membawa derita, dunia penerbanagan pun membawa berita. Siapa sangka 62 orang yang menggunakan jasa Sriwijaya Air sampai hari ini belum dipastikan selamat. Pasca-pesawat itu jatuh pada Sabtu (9/1), harapan ada penumpang yang selamat sangat nihil.
Rentetan peristiwa itu menjadi tanda bahwa kematian seola menjadi barnag murah di negeri ini. Kematian sudah ada di hadapan mata setiap manusia. Suami hari ini masih tersenyum bersama istri dan anak, bisa jadi esok sudah menjadi duda. Istri bisa saja menjadi janda hari ini juga. Demikian pula anak-anak, status yatim piatu selalu menanti, layaknya kematian yang tak pernah memberikan kepastian kapan datang.
Para pemuda maupun pemudi tak boleh merasa aman karena umur. Berapa banyak contoh bayi baru lahir meninggal dunia. Banyak anak muda menghembuskan nafas terakhir saat masih bugar-bugarnya. Intinya kematian tak memandang bulu. Malaikat maut mencabut nyawa sesuai perintah.
Maka itu, sangat penting bagi umat Islam untuk memandang kematian ini dengan cara pandang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara Al-Qur’an memandang kematian ini tertuang dalam surat Al-Mulk ayat 2. Allah SWT berfirman;
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”
Kematian dan kehidupan adalah dua mahluk yang tak terpisahkan. Kematian adalah awal kehidupan manusia. Kematian adalah pintu memasuki alam akhirat yang kekal abadi. Ini adalah siratan dalam ayat di atas, mengapa Allah mendahulu kosakata kematian daripada kehidupan.
Pada makna yang lain, kematian itu sangat dekat dengan manusia. Kematian tak bisa dibeli oleh siapapun. Tidak ada orang yang bisa bersembunyi dari mahluk yang akan memutus kehidupan dunia seseorang.
Sebagaimana ayat di atas, seseorang harus memandang kematian dengan kacamata iman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikia, kematian akan menjadi penyemangat untuk terus memperbanyak amal saleh. Kematian akan memicu ardenalin melakukan kebaikan sebanyak mungkin agar bisa mempersiapkan bekal di akhirat kelak.
Kematian dan kehidupan adalah ujian. Cobaan untuk menentukan siapakah di antara orang beriman yang paling baik amalnya. Ukuran amal itu ada dua, ikhlas karena Allah dan benar dalam mencontoh Rasulullah.
Maka tentu, orang beriman sudah pasti berlomba-lomba memperbanyak amal kebaikan. Semua aktivitas sehari-hari diniatkan untuk ibadah. Berangkat kerja diawali dengan salat subuh berjamaah, keluar rumah pun dengan doa, berjalan sambil istighfar, hati selalu terpaut kepada Allah. Sehingga setiap detik yang dilewati bernilai ibadah.
Bagi orang beriman, pekerjaan untuk mencari rupiah adalah ladang amal. Tergantung niat bukan. Orang beriman selalu meniatkan mencari nafkah untuk memenuhi kewajiban sebagai suami, atau bisa menghidupi diri sendiri sehingga tidak merepotkan orang lain. Itu perintah Qur’an bukan? Jika niat ditata dengan baik, pikiran selalu mengingat kematian, maka hari-hari yang dilewati akan bermakna. Tidak ada detik terlewat kecuali ibadah kepada-Nya.