
Kemenangan puncak bukan saat bergelimpangan prestasi duniawi, tapi saat seseorang dimasukkan ke dalam kelompok orang beriman di surga kelak. Cahaya menerangi bagian depan mereka. Cahaya ada di sebelah kanan mereka.
Kemenangan hakiki itu hanya bisa dicapai dengan takwa. Tidak ada jalan lain. Maka itu Allah Subahahu wa ta’ala menggambarkan perumpamaan yang sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai orang menang dan orang kalah. Perumpamaan itu termaktub dalam surah Al-Lail ayat 1-4. Pemenang dari kalangan orang beriman diumpamakan cahaya siang, dan orang kafir seperti kegelapan malam.
وَالَّيۡلِ اِذَا يَغۡشٰىۙ وَالنَّهَارِ اِذَا تَجَلّٰىۙ وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالۡاُنۡثٰٓىۙ اِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتّٰىؕ
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan demi siang apabila terang benderang, demi penciptaan laki-laki dan perempuan, sungguh, usahamu memang beraneka ragam.” (QS. Al-Lail: 1-4)
Manusia diminta untuk memperhatikan malam. Itu bukan tanpa alasan, sebab Allah sedang bersumpah atas nama malam. Kendati begitu, bukan seluruh malam yang diminta untuk diperhatikan. Malam yang dimaksud dalam ayat ini dijelaskan dalam surah Adh-Dhuha ayat 2, “Dan Demi malam apabila telah sunyi.”
Malam dimulai saat senja terbenam dan berakhir saat fajar menyinsing di ufuk timur. Namun manusia diminta untuk memperhatikan malam ketika sudah gelap-gulita. Malam yang sunyi. Gelap gulita. Perhatikan apa yang terjadi dalam zona waktu tersebut. Mata telanjang manusia tidak bisa lagi melihat benda-benda materi. Tanpa cahaya, manusia tidak bisa melihat benda apapun itu.
Para musafir akan tersesat di tengah padang pasir. Pelaut akan kebingungan tanpa kompas ketika malam sudah menutup mereka. Semua itu terjadi hanya karena separuh bumi membelakangi matahari, sumber cahaya. Bumi tidak lagi mendapatkan cahaya matahari. Pada kondisi itu, terjadilan malam yang gelap.
Manusia juga diminta untuk memperhatikan siang. Siang terbentang dari waktu syuruq atau matahari terbit sampai menjelang magrib. Manusia tidak diminta memperhatikan siang pada waktu syuruq dan waktu senja. Kalimat (اِذَا تَجَلّٰىۙ) artinya manusia diminta memperhatikan siang ketika mulai terang.
Momen pada saat siang mulai terang akan menampakkan semua benda-benda, jalanan menjadi terang, hingga jurang kelihatan jelas dan terang. Definisi siang adalah ketika cahaya matahari menerpa separuh bumi. Jika malam bumi sedang membelakangi matahari, maka akan gelap sebagian. Siang terjadi ketika sebagian bumi menghadap matahari, maka bumi pun terang.
Satu penekanan penting dari ayat di atas adalah penciptaan kegelapan dan cahaya. Sebelum matahari diciptakan dan benda-benda menghadap matahari pada hakikatnya semua berada dalam kegelapan. Allah terlebih dahulu menciptakan kegelapan, lalu terang. Ini sama halnya manusia terlahir dalam keadaan sesat, kecuali mereka yang sudah tercahayakan dengan cahaya ilahi.
Setelah Allah bersumpah atas nama malam yang gelap gulita dan siang yang terang benderang, Dia juga bersumpah dengan penciptaan laki-laki dan perempuan. Tidak ada satu manusia pun yang mampu menentukan identitasnya, lahir di mana, di rahim siapa, kapan lahir, dan bagaimana caranya lahir. Tidak ada satu pun orang tua yang bisa menentukan apakan ingin melahirkan anak perempuan atau laki-laki.
Allah hendak menjelaskan tentang kudrah-Nya atau kuasa-Nya melalui penciptaan laki-laki dan perempuan. Terdapat kuasa Allah di balik penciptaan laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang bisa merekayasa. Meski teknologi mengenal teori kromoson, tapi toh juga tidak bisa menentukan jenis kelamin saat mengandung. Pada akhirnya semua bergantung pada kuasa Allah SWT.
Hal menarik lainnya adalah keseimbangan yang terjadi di muka bumi. Semua manusia berpasang-pasangan. Tidak ada satu negara pun di dunia yang hanya diisi oleh perempuan, atau laki-laki saja. Tidak ada manusia yang mampu mengatur semua itu. Ini menunjukkan kekuasaan Allah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan agar ada keturunan. Peradaban manusia di muka bumi terus berlanjut.
Kenapa Allah Bersumpah?
Rahasia Allah bersumpah dengan tiga sumpah benda tersebut terdapat dalam ayat keempat. Allah SWT berfirman;
اِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتّٰىؕ
“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.”
Allah hendak menegaskan bahwa perbuatan manusia itu berbeda-beda dan bertolak belakang. Sebagaimana perbedaan siang dan malam, dan karakter karakter laki-laki dan perempuan yang bertolak belakang.
Ada manusia yang berbuat berdasarkan penglihatan terang karena mendapatkan cahaya. Mereka seperti orang yang berjalan di siang hari. Mereka mampu membedakan jurang dan jalanan bagus. Itu merupakan perumpamaan orang-orang beriman dan berama saleh. Dia bisa beriman karena ada cahaya ilahi yang menerpanya. Bisa beramal saleh karena bisa melihat benda-benda yang membedakan.
Ada pula manusia yang hidup tanpa cahaya. Hati mereka gelap gulita. Tidak mampu membedakan jurang dan jalanan. Tak mampu membedakan mana haram dan halal. Tak mampu membedakan mana benar dan salah. Bahkan jungkir balik hidupnya, yang benar dibilang salah dan yang salah dibilang benar. Ini adalah perumpamaan orang kafir yang berada di tengah kegelapan malam.
Sebagaimana manusia diciptakan ada laki-kaki dan perempuan, perbedaan di antara manusia itu mencolok dan cenderung tajam. Kata سَعۡي menunjukkan memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Contoh ada orang yang keluar rumah di pagi hari karena sungguh-sungguh ingin menjadi manusia merdeka. Mereka keluar rumah untuk menjadi orang baik. Mereka selalu mengerjakan kebaikan. Ini karena hatinya dipenuhi cahaya kebaikan, sehingga pikirannya penuh dengan kebaikan. Dia terang benderang melihat sesuatu.
Tetapi ada manusia yang keluar di pagi hari tetap ingin menjadi budak dunia. Ada manusia setiap keluar rumah sebetulnya keluar untuk menjadi penjahat, kendati sudah merasa bekerja. Pekerjaan mereka adalah kejahatan. Itu yang menjadi sumber dari perilaku dan keputusan-keputusan.
Lalu apa yang dibutukah manusia agar berjalan di atas cahaya? Cahaya yang penunjuk jalan itu adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman bagi umat manusia. Ayat-ayat di dalam kitab suci merupakan petunjuk dari semua rahasia alam semesta, bahkan tata cara hidup bahagia di akhirat kelak. Maka sebenarnya tak perlu lagi mencari pedoman hidup, karena Allah menciptakan manusia disertai dengan kitab pedoman dengan akurasi tinggi. Tidak ada keraguan di dalamnya. Semua ayat adalah kebenaran.