Penaklukkan Konstantinopel merupakan lembaran sejarah yang sarat pelajaran penting. Kebanyakan ranting sejarah yang tersebar di berbagai buku hanya melihat sisi kepemimpinan Mehmed bin Murad atau Mehmed II dalam menaklukkan kota tersebut. Itu tidak salah. Tapi ada satu poin penting yang hanya bisa ditemukan jika lembaran sejarah itu dianalisis lebih mendalam, yakni taat komando.
Ini sejalan dengan perintah Allah Subhanau wa ta’ala yang berbunyi; “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59).
Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih memang dikenal sebagai pemimpin dengan kualitas amal saleh yang sangat tinggi. Tidak hanya kualitas salat lima waktu, tapi beliau sangat menjaga salat sunnah terutama salat tahajjud. Dia meyakini bahwa kemanangan umat Islam pada setiap peperangan bukan karena kuantitas pasukan, tapi kualitas keimanan mereka kepada Allah Subhanau wa ta’ala. Kemenangan hanya milik Allah, dan pertolongan-Nya hanya diberikan kepada orang-orang beriman.
Selain itu, pelajaran penting dari penaklukan Konstantinopel adalah strategi yang matang. Perjuangan dalam Islam tidak selamanya dinilai dari hasil, tapi kualitas proses yang dikerjakan. Al-Fatih melakukan berbagai strategi dan persiapan untuk melakukan pengepungan kota tersebut. Dia mendirikan benteng besar Bosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng ini dijadikan sebagai pusat persediaan perang untuk menyerang kota Konstantinopel.
Setelah berbagai persiapan, pasukan Utsmani di bawah Al-Fatih melakukan pengepungan selama sembilan bulan. Pada 2 April 1453, Al-Fatih menyatakan perang ke kota Konstantinopel.
Perjuangan Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel merupakan jawaban dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam; “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanbal Al Musnad).
Menjelang waktu Ashar pada 29 Mei 1453, pasukan Al-Fatih berhasil menaklukkan jantung peradaban Kristen terbesar itu. Kejadian itu merupakan peristiwa yang sangat bersejarah. Konstantinopel dinaungi benteng yang terbentang sejauh total 20 kilometer.
Upaya penaklukkan benteng terkuat di bumi saat itu tak mudah. Pasukan artileri Al-Fatih gagal menusuk dari sayap barat lantaran dihadang dua lapis benteng kukuh setinggi 10 meter. Saat mencoba menyerang dari seatan Laut Marmara, mereka terganjal militansi tentara laut Genoa pimpinan Giustiniani. Dua upaya itu tidak membuahkan hasil signifikan. Al-Fatih sadar, titik lemah Konstantinopel adalah sisi timur yakni selat sempit Golden Horn.
Selat tersebut dibentengi dengan rantai besar. Kapal-kapal perang bahkan armada kecil pun tidak bisa melewatinya. Tapi Al-Fatih tak kehabisan akal. Dia membawa kapal-kapal perang dari laut ke darat untuk menghindari rantai besar tersebut. Pasukan Al-Fatih menggtong 70 kapal perang ke sisi selat dalam waktu singkat pada malam hari. Kapal-kapal tersebut seolah berlayar di antara bebukitan yang terjal. Inilah awal dari kejatuhan Konstantinopel yang fenomenal.
Sebagaimana disinggung di awal, salah satu poin penting penaklukkan konstantinopel adalah taat komando. Poin penting itu tidak terjadi pada Romawi dan Bizantium. Selain itu, mereka berangkat ke medan perang berlandaskan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sangat kuat. Semua janji Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah haq.
Pasukan Elite Sebagai Ujung Tombak
Heroisme penaklukkan Konstantinopel tidak lepas dari peran penting pasukan khusus Kesultanan Ottoman Turki, Janissari. Janissari terkenal dengan satuan militer elite pada masa itu. Micah Azzir, seorang sejarawan Turki dari Istanbul yang melakukan penelitian tekait Janissari, mengisahkan ketangguhan pasukan elite ini ketika penaklukkan kota tersebut.
Al-Fatih memerintahkan pasukan Turki Usmani memulai serangan terbesar ke pusat Kekaisaran Bizantium di Romawi Timur. Turki Usmani menyerang dinding tebal Kota Konstantinopel. Dia mengerahkan kurang lebih 6.000 Janissari bersama 80 ribu pasukan Turki Usmani lainnya. Dalam serangan laut, Laksamana laut Turki Usmani dipimpin seorang Janissari berhasil membakar armada laut galley Bizantium. Mereka sukses menewaskan 12 ribu pasukan Bizantium.
Penyerangan ini berakhir setelah Sultan Mehmed II berhasil mengambil Kota Byzantium. Kemudian, kota ini diubah menjadi ibu kota baru Turki Usmani, Istanbul.
Keberhasilan Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel bukan hanya sebagai pemanis sejarah saja. Namun banyak pelajaran penting di dalamnya dalam upaya mencapai target besar. Di antara pelajaran penting itu adalah taat kepada pemimpin atau satu komando, meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah, strategi jenius, hingga membentuk tim khusus sebagai ujung tombak.