Dakwah merupakan metode para nabi dan rasul dalam menyampaikan kebenaran kepada umat manusia. Secara bahasa dakwah berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Secara istilah, dakwah berarti kegiatan yang bersifat mengajak dan memanggil orang untuk taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sesuai dengan garis akidah, syariah, dan ahlak islamiyah.
Tujuan utama dakwah yakni mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai oleh Allah Subhanu wa ta’ala. Dia berfirman; “Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Fushshilat: 33).
Sejarawan Muslim, Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi, menjabarkan empat karakteristik dakwah para dan nabi dan rasul. Keempat karakteristik mesti menjadi landasan dasar bagi seorang muslim dalam menyampaikan kebenaran. Karakteristik dakwah itu yakni;
- Dakwah para nabi dan rasul itu memiliki satu sumber dan satu tujuan
Pada dasarnya dakwah para nabi dan rasul memiliki karakteristik karena memiliki sumber dan satu tujuan yakni rabbaniyah. Dakwah mereka bukan konsep yang lahir dari kesakitan sosial. Hal paling penting dan istimewa dari dakwah para nabi dan rasul adalah wahyu dan kewajiban dari Allah SWT.
Dakwah mereka bukan bersumber dari pemikiran atau pun perasaan, bukan dari kondisi sosial masyarakat berupa kezaliman yang merajalela, atau hasil pemikiran akibat kondisi masyarakat yang menyimpang. Selain itu, dakwah mereka tidak berasal dari perasaan yang halus dan penuh kelembutan. ajaran nabi dan rasul adalah wahyu dari Allah SWT dan kewajiban dari-Nya.
“Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. Yunus: 16)
Dakwah mereka bukan aliran filsafat. Sebab, filsafat itu lahir dari kondisi sosial masyarakat yang sakit, lalu tiba-tiba muncul satu pemikiran kuat dan mempengaruhi banyak orang. Sebut saja kemunculan sosialisme dan komunisme. Dua pemikiran itu lahir karena tidak ada keadilan dari penguasa yang kapitalis. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan akhirnya mengusung sebuah pemikiran dengan maksud mewujudkan keadilan bagi semua orang.
Dakwah para nabi dan rasul tidak lahir kondisi sosial masyarakat yang seperti itu. Keistimewaan dakwah nabi karena berdasarkan wahyu dari Allah. Tidak seperti komunisme yang lahir dari pemikiran dan perasaan, bukan dari wahyu.
Al-Qur’an pun telah menjelaskan tabiat risalah para utusan Allah di muka bumi. Allah SWT berfirman; “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (QS. An-Nahl: 2)
Maka itu sangat jelas bahwa para nabi dan rasul itu tidak tunduk pada faktir pribadi dalam diri mereka dan kondisi sosial masyarakat. Mereka juga tidak membawa risalah sesuai dengan kehendak masyarakat. “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS. An-Najm: 3).
Para nabi dan rasul tidak mengubah maupun menyesuaikan wahyu berdasarkan kondisi masyarakat. Mereka menyampaikan risalah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT. Hal ini disinggung dalam surah Yunus ayat 15. Dia berfirman;
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”.
Itulah karakteristik dasar yang menjadi pemisah dakwah para nabi dan rasul dengan pemimpin maupun tokoh masyarakat. Ini karena landasan perjuangan pemimpin dan tokoh berasal dari kondisi masyarakat, waswasan pribadi, atau pun sifat mereka. Selain itu, mereka biasanya tunduk pada kondisi politik tertentu dan untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Sehingga mereka terkadang mengajak pada kebaikan sekedar untuk mencapai kepentingan politik mereka. itu tentu sangat berbeda dengan misi para nabi dan rasul.
- Ikhas dan tidak Ada Unsur Tujuan Pribadi
Para nabi dan rasul adalah orang yang menepati janji dengan Allah SWT. Mereka selalu menyebarkan dakwah dengan ikhlas dan tidak ada sedikit pun tujuan pribadi. Mereka berdakwah untuk kebenaran dan keinginan kuat mengajak manusia pada kebaikan agar selamat dunia akhirat. Mereka berdakwah bukan untuk mendapatkan materi. Mereka hanya mengharapkan upah dari Allah SWT.
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Hud: 51)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman; “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya.” (QS. Al-Furqan: 57).
Selain itu, mereka mengimplementasian keikhlasan secara totalitas dalam berdakwah. Mereka sama sekali tidak mengharapkan pujian saat menyampaikan kebenaran. Hal ini digambarkan oleh Allah SWT dalam surah Al-Kahfi ayat 11; “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
- Zuhud pada Dunia dan Memilih Kehidupan Akhirat
Orientasi dakwah para nabi dan rasul adalah kepada akhirat. Mereka merasa hina dengan dunia. Mereka terlebih dahulu mengamalkan wahyu dari Allah SWT sebelum menyampaikan kepada umatnya. Itu sudah menjadi dasar dan manhaj dalam hidup mereka. Mereka yang peprtama kali mengamalkan dakwah itu. Hal ini disampaikan dalam surah Hud ayat 88.
Para nabi dan rasul zuhud terhadap dunia. Mereka lebih memilih kehidupan akhirat sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah. Mereka bahkan mengorbankan posisi penting di tengah masyarakat demi dakwah. Mereka menolak kesempatan hidup mewah demi menyampaikan kebenaran. Mereka tidak terobesesi dengan masa depan keduniaan yang fana, tidak memanfaatkan kecerdasan untuk kepentingan sesaat, atau kedudukan keluarga mereka.
“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami”. (QS. Hud: 62)
Namun konsep zuhud ini harus dipahami dengan baik dan benar. Zuhud bukan berarti membiarkan diri dalam kefakiran, sehingga menelantarkan diri sendiri dan keluarga. Zuhud memang lebih memprioritaskan akhirat, bukan dunia. Semua pencapaian duniawi dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Sehingga tidak salah jika ada seorang dai yang memiliki harta kekayaan. Itu justeru mempermudah penyebaran dakwah di tengah masyarakat.
- Mengfokuskan diri pada akidah tauhid dan bersungguh pada keimanan yang gaib
Poin keempat ini merupakan poin penting dalam karakteristik dakwah para nabi dan rasul. Mereka mengajak manusia pada akidah tauhid. Menolak semua ajaran yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
Dewasa ini banyak pemikiran berkembangan yang mengesampingkan peran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Komunisme misalnya yang menolak keberadaan agama. Begitu juga isme-isme sesat lainnya yang sama sekali tidak menjadikan tauhid sebagai landasan utama. Maka itu, para nabi dan rasul memfokuskan diri pada akidah tauhid.
Iman kepada yang gaib juga menjadi poin yang sangat penting. Akhirat adalah perkara gaib. Surga dan neraka juga demikian. Bahkan dakwah itu mengajak pada yang gaib; beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat, kepada hari akhir, hingga iman kepada takdir. Semua perkara itu membutuhkan keimanan yang kuat kepada hal gaib.