AQL Peduli, Khazanah – Saat berkhutbah dalam pelaksanaan haji wada’ atau haji perpisahan pada tahun ke-10 hijiriah, Rasululllah SAW memberikan isyarat tentang kematiannya. “Wahai manusia sekalian, perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kamu sekalian.” Tutur beliau.
Setelah menyampaikan beberapa hal, beliau menegaskan, “Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan tidak ada umat setelah kalian.”
Tidak lama setelah itu, turunlah firman Allah yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu” (Q.S. Al-Maidah ayat 3).
Mendengar Nabi membacakan ayat tersebut, Abu Bakar menangis. Ia merasa bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya Nabi hendak menghadap Allah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, air matanya tak bisa dibendung.
Saat seseorang bertanya kepada Umar kenapa ia menangis, Umar menjawab, “Sesungguhnya sesuatu yang telah sempurna, berikutnya akan berkurang.”
Detik-Detik Terakhir di Pangkuan Aisyah
Nabi Muhammad mulai sakit pada 29 Shafar tahun 11 Hijrah. Beliau sakit kepala dan demam, suhu badannya meninggi. Kondisi itu terjadi selama 13 sampai 14 hari. Meski sakit, selama sebelas hari beliau masih sempat mengimami salat berjamaah.
Suatu hari saat beliau tiba di rumah Aisyah, istrinya itu mengeluh sakit kepala. Nabi berkata, “Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala.” Beliau lalu berbaring di tempat tidur. Saat rasa sakit mereda, beliau mengunjungi istri-istrinya yang lain seperti biasa.
Di rumah Maimunah, istrinya yang terakhir beliau nikahi, sakitnya kambuh lagi dan terasa lebih keras. Istri-istrinya dipanggil ke rumah Maimunah, dan Nabi meminta dirawat di rumah Aisyah. Dengan berikat kepala dan ditopang oleh Ali bin Abi Tahlid serta Abbas bin Abdul Muthalib, pamannya, beliau meninggalkan rumah Maimunah. Nabi tiba di rumah Aisyah dengan kondisi yang sudah lemah.
Selama tinggal di rumah Aisyah, istrinya itu membacakan surat al-Mu’awwizzat (surat-surat yang berisi mohon perlindungan; al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas) serta doa-doa yang ia dapatkan dari Nabi. Kemudian ia tiup dan usapkan ke tubuh Nabi dengan tangannya.
Lima hari menjelang wafat, sakitnya semakin keras. Panas suhu tubuhnya meninggi. Nabi meminta kepada para sahabat untuk menyiramkan air kepadanya. Setelah air disiramkan dan beliau merasa kesehatannya membaik, dengan kepala diikat Nabi masuk masjid dan meminta kepada para sahabat untuk membalas apa yang pernah beliau lakukan kepada mereka, misalnya dicambuk atau dicaci. Tentu saja, tak ada seorangpun yang pernah disakiti Nabi.
Sakit Nabi bertambah parah. Panas demamnya semakin memuncak. Istri-istri dan para tamu yang menjenguknya meletakkan tangan di atas selimut yang Nabi pakai, dan mereka merasakan betapa panasnya demam yang menyerang Nabi.
Empat hari sebelum wafat, dan kondisinya sudah semakin parah, Nabi masih sempat menjadi imam salat. Namun saat waktu Isya datang, beliau sudah tiada sanggup keluar. Nabi kemudian bertanya kepada Aisyah, “Apakah orang-orang sudah salat?” Aisyah menjawab, “Belum, ya Rasulullah, mereka menunggumu.”
Kemudian Nabi minta diambilkan air dan beliau mandi. Setelah itu beliau pingsan. Saat tersadar, Nabi bertanya lagi, “Apakah orang-orang sudah salat?” Lalu mandi lagi dan pingsan lagi sebanyak tiga kali. Dalam kondisi teramat payah beliau meminta Abu Bakar untuk menjadi imam salat.
“Abu Bakar orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Al-Qur’an,” ujar Nabi.
Fatimah, putri kesayangan Nabi, menjenguk tiap hari. Jika putrinya itu datang, Nabi biasanya meyambut dan menciumnya. Namun saat Nabi telah demikian payah, Fatimah datang menemuinya dan mencium ayahnya.
“Selamat datang, putriku,” ujar Nabi.
Beliau lalu membisikkan sesuatu kepada Fatimah. Putrinya menangis, tapi tak lama kemudian ia tertawa. Rupanya Nabi mengabarkan dua hal: pertama bahwa beliau akan meninggal karena sakitnya tersebut, dan kedua Fatimah adalah orang pertama dari keluarganya yang akan menyusul Nabi.
Sebuah bejana berisi air dingin diletakkan di sebelah Nabi, karena panas demamnya semakin tinggi. Sesekali beliau meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke wajah. Saking tinggi suhu panas demamnya, kadang Nabi sampai tak sadarkan diri, dan saat kembali sadar kondisinya sudah semakin payah.
“Alangkah berat penderitaan ayah,” ujar Fatimah dengan penuh kesedihan.
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawab Nabi.
Saat detik-detik sakratulmaut datang, Nabi berada di pangkuan Aisyah. Abdurahman bin Abu Bakar datang membawa siwak, dan Nabi memandang ke arahnya.
“Mau aku ambilkan untukmu?” tanya Aisyah kepadanya.
Nabi menganggukkan kepala tanda setuju. Setelah dikunyah oleh Aisyah, siwak itu digosokkan ke mulut beliau. Nabi kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana air yang ada dekatnya dan mengusapkan ke wajahnya seraya berkata, “Laa ilaaha illallah, sesungguhnya setiap kematian ada sekaratnya.”
Kemudian Nabi mengangkat tangannya dan memandang ke atas, bibirnya bergerak-gerak dan berucap, “Bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah maha mengetahui.”
Beliau melanjutkannya dengan berkata, “Ya Allah, ampuni dan kasihanilah aku, pertemukan aku dengan teman-teman yang tinggi (kedudukannya), ya Allah pertemukan aku dengan teman-teman (yang tinggi kedudukannya).”
Nabi mengulangi kalimat tersebut sebanyak tiga kali, kemudian tangannya lemas dan akhirnya nyawa terpisah dari raga. Nabi wafat sambil bersandar antara dada dan leher Aisyah. Kemudian Aisyah meletakkan kepala Rasulullah di atas bantal. Nabi wafat pada waktu Dhuha, hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijrah atau 8 Juni 632 Masehi