cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Ramadhan Kareem (Serial Tadabbur Al-Qur’an)

Sekilas Tentang Tadabbur Al-Qur’an

Kata tadabbur artinya, “memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya”. Tadabbur juga dapat diartikan sebagai proses berpikir mendalam dan menyeluruh yang dapat menghubungkan ke pesan paling akhir. Tadabbur ialah sebuah perkataan yang menggunakan ketajaman mata hati, lewat proses perenungan secara berulang-ulang, agar dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an yang terdalam dan mencapai tujuan maknanya yang terjauh.

Secara etimologis, kata tadabbur berasal dari bahasa Arab, yakni د ب ر terdiri berdasarkan beberapa huruf; da, ba dan ra. Ibnu Faris dalam kitabnya Maqayis al-Lughah mengartikan dengan penghujung bagi sesuatu, dapat juga diartikan dengan di belakang (Hamzah, 2019). Menurut Ibn al-Qayyim, bahwa tadabbur adalah memfokuskan pandangan hati pada makna-makna Al-Qur’an, dan menyatukan pikiran untuk merenungi dan memikirkannya.

Ulama lainnya mendefinisikan tadabbur dengan memahami dilalah (petunjuk), yaitu (a) memahami makna lafazh-lafazhnya, (b) dan memikirkan makna-makna yang ditunjukkan oleh lafazh secara muthobaqoh (makna yang jelas dari sebuah lafazh), (c) memahami secara tadadhommun (makna yang dikandung secara tidak langsung), (d) atau secara iltizam (makna yang dituntut olehnya dan menjadi kesempurnaan baginya), (e) serta isyarat-isyarat dan peringatan dari ayat, (f) hati mengambil manfaat dari setiap nasihat dengan khusyu’, (g) tunduk pada perintah dalamnya (khudhu), (h) serta mengambil pelajaran darinya.

Tadabbur merupakan kata serapan yang mana frasanya diambil dari makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an QS. Muhammad ayat 24 sebagai berikut.

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ اَمۡ عَلٰى قُلُوۡبٍ اَ قۡفَالُهَا

Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?

Kemudian padanan kata tersebut di atas, dialihfungsikan menjadi bahasa Indonesia dengan menggunakan fonem tunggal ‘b’ sebagai contoh ‘tadabur’ yang diartikan dengan ‘merenung’.

Jadi, dapat disimpulkan makna tadabbur Al-Qur’an ialah usaha sang pentadabur untuk melakukan olah pikir dan merenungkan isi kandungan Al-Qur’an dalam rangka memahami serta mengetahui makna-makna yang tersirat secara mendalam melalui penghayatan.

Adapun syarat-syarat untuk dapat bertabbur Bachtiar Nasir membaginya ke dalam lima-belas proses, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, menjaga etika terhadap Al-Qur’an. Etika sendiri berasal dari kata “ethes” yang berarti ethos atau budi pekerti, adat kebiasaan, atau watak. Tentu etika menjadi sangat penting ketika sang pentadabur ingin membedah makna terdalam dari isi kandungan Al-Qur’an. Memiliki akhlak yang baik ketika hendak membaca Al-Qur’an, sebagai contoh tidak mengeraskan bacaan saat ada orang yang sedang shalat disampingnya, bersuci, tempat dan waktu bersesuaian dengan kondisi, berlapang dada, hendaknya membaca isti’adzah, membaca basmallah, tentu yang menjadi intinya ialah memusatkan hati dan pikiran kepada Al-Qur’an yang hendak ditadabburi.

Kedua, membaca dengan pelan, penuh penghayatan, melibatkan hati dengan suasana positif, khusyu’. Ketiga, Merenungkan ayat yang dibaca secara konsisten, terukur dan sistematis dan melakukan pengulangan, agar sampai kepada pemaknaan terdalam.

Keempat, mengamati ayat dengan aspek kehidupan dengan cara mengelaborasinya sebagai sumber solusi terhadap berbagai permasalahan kehidupan. Kelima, mengamati secara detail urutan ayat, susunannya, makna dari ayatnya, pengaplikasiannya, asbabun nuzul, gharib dan mencermati konotasi ayat.

Keenam, mengembalikan pemahaman cara bertadabbur dan berinteraksi dengan Al-Qur’an. Ketujuh, memahami pendapat-pendapat para mufassir. Kedelapan, memandang Al-Qur’an secara sempurna dan menyeluruh. Kesembilan, memperhatikan tujuan pokok yang dimaksud Al-Qur’an.

Kesepuluh, merasakan alunan lembut yang bersumber dari nash Al-Qur’an. Kesebelas, memanfaatkan ilmu-ilmu modern sebagai alat bantu untuk memahami nash Al-Qur’an. Kedua belas, berusaha meniadakan rasa bosan untuk mengulang-ulang mentadaburi Al-Qur’an. Ketiga belas, Memperhatikan ciri khas dari kandungan nash Al-Qur’an. Keempat belas, Menguasai ilmu-ilmu dasar penafsiran. Kelima belas, Membaca sumber buku lain yang masih ada relevansinya dengan kajian tadabbur.

Kita dapat mengenali epistimologi Al-Qur’an melalui beberapa upaya ejawantah langkah-langkah bertadabbur agar dapat pencapaian maksimal serta melarutkan jiwa dalam memaknai ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an , sampai bisa terungkap rahasia mengenai maknanya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code