Di zaman sekarang peperang tidak lagi identik dengan berderetnya moncong senjata, atau pelontar yang di taruh di tiap sudut-sudut tempat strategis agar memungkin untuk membalas serangan musuh. Peperangan tersebut rupanya disusun sedemikian apik, boleh jadi memang kita tidak merasakan serangan-serangan fisik, sebetulnya serangan-serangan itu berdatangan dengan di desain dengan sangat halus, sehingga pada kasat matanya kita tidak merasakan keberadaan serangan itu, tapi kita dapat melihat dampaknya akibat serangan tersebut, yang dikenal dengan ghazwul fikri (perang pemikiran).
Pada atas sadarnya, jika ditilik lebih lanjut, nampak kebiasaan-kebiasaan yang sama sekali baru diperkenalkan, di mana masing-masing pelakon agama khususnya di era muktamar dalam membuka sebuah percakapan mula-mula meramu semua salam kebajikan dan hal ini dianggap sebagai bentuk toleransi yang meneduhkan. Dalam konsep masing-masing agama, memiliki yang disebut-sebut sebagai identitas beragama, tentu bagi yang memahaminya hal-hal yang demikian mempunyai konsekuensinya bagi pemilik agama atau pelakonnya tidak bisa sembarang mencampurkan antara jenis lain ke jenis lainnya lagi.
Dalam Islam, khususnya al-Wala’ wa al-Bara’ adalah instrumen penunjang untuk batasan-batasan beragama. al-Wala’ atau muala lawan kata dari al-Muaddah berarti kecondongan, kecenderungan membela dan sebagainya. Untuk contohnya silahkan dibuka surah Al-Baqarahayat 257 dan Al-Maidah ayat 51. Sedangkan al-Bara’ berasal dari kata katbaria atau juga takhallasha berarti lepas atau bebas, kemudian ada juga turunannya tanzhaha (suci), turunnya lagi tabda’ (menjauh), turunnya lagi andzara (memperingatkan).
Jadi, al-Wala’ dan al-Bara’ adalah perisai yang dipergunakan untuk melindungi pokok-pokok, dasar ajaran Islam, al-Wala’ bisa diartikan juga sebagai bentuk kemurnian cinta seorang hamba kepada Allah SWT., para Nabi dan sesama orang-orang beriman lainnya. sementara al-Bara’ merupakan refleks bawah sadar kebencian terhadap kebatilan, termasuk kepada pelakunya. Sedangkan menurut perspektif Henri Shalahuddin al-Wala’ dan al-Bara’ merupakan sebuah ikatan cinta kepada Allah SWT., persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan keimanan. Maka terhapuslah segala bentuk perbedaan ras, darah, tanah, jenis kelamin hingga warna kulit sekali pun. Dengan demikian, ber-wala’ dan ber-bara’ berkonsekuensi pada bagaimana kita memenuhi hak sesama Muslim dengan sebaik-baiknya, semangat untuk berhijrah, berjihad, termasuk interaksi kita kepada non-Muslim, juga sikap kita terhadap ahlul bida’ wal al ahwa.
Di kesempatan lain, Syeikh Hamd bin ‘Atiq mengatakan, “Tidak ada hukum dalam Kitabullah yang dalilnya lebih banyak dan jelas melebihi hukum ini; al-Wala’ wa al-Bara’, setelah diwajibkannya tauhid, dan diharamkannya syirik. Yang dikatakan syeikh tersebut bernada sama dengan apa yang ada di dalam surah Al-Maidah: 54: “Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui,”
Artinya, kalimat tauhid yang kokoh yang sudah diikrarkan yang diucap dengan cara melisankan, tertancam kuat dalam diri seorang Mukmin tentu mengandung konsekuensi, yaitu konsekuensi iman; “Allah lalu menyatakan, : Engkau, Muhammad, tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya.” Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia berupa kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain-lain….” (QS. Al-Mujadilah: 22), di saat bersamaan juga mengafirmasi ber-wala’ pada syariat Allah SWT. dan ber-bara’ pada hukum jahiliyyah.
Di antaranya kalimat tauhid menegasi 4 perkara; (1) alihah (jimat) sesuatu yang diyakini bisa mendatangkan kebaikan tentunya kepada selain yang disyariatkan, (2) thagut sesuatu yang dijadikan bahan sesembahan & rela dalam menyembahnya, (3) ahdad ialah berupaya mendatangkan tandingan dan sekutu; “Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu melihat, ketika mereka melihat adzab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras adzab-Nya,” (QS. Al-Baqarah: 165),(4) arbab adalah orang yang memberi fatwa menyimpang dari kebenaran lalu menutupinya; “Mereka menjadikan para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah serta (Nasrani mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam. Padahal, mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).
SUMBER:
Saturday Forum (INSISTS). Wala’ & Bara’ Konsep Beridentitas Dalam Keberagamaan. Keynote speaker Dr. Henri Shalahuddin.