cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Sanksi Potong Tangan Dan Dilema Perspektif HAM

Allah Ta’ala menegaskan hukuman yang diberikan untuk pencuri ialah hukum potong tangan dalam firman-Nya, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Maidah: 38).

Jika kita telusuri dari segi perspektif Islam, tentu, hal itu adalah masuk di akal, hukum Allah, maka harus dilaksanakan.

Suatu ketika Syaikh Shalih Al-Utsaimin pernah mendapatkan pertanyaan dari seseorang, “Apa pendapat anda terhadap orang yang mengatakan, “Sesungguhnya memotong tangan si pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki adalah sesuatu yang keras (tidak berkeprikemanusiaan), dan melanggar hak asasi kaum perempuan?”

Beliau menegaskan (Syaikh Shalih Al-Utsaimin), “Saya tegaskan terhadap orang yang mengatakan memotong tangan pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki sebagai sesuatu yang keras dan melanggar hak asasi kaum wanita, bahwa dengan perkataan ini dia telah keluar (murtad) dari Islam dan kafir terhadap Allah subhanallah wa Ta’ala. Maka, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dari hal itu. Bila tidak mau, maka dia mati dalam kondisi kafir, sebab hal ini merupakan hukum Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin…” (QS. Al-Maidah: 50)

Dikarenakan dibalik peristiwa pemotongan tangan ini mengandung adanya sebuah hikmah yaitu, “…(sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)

Adapun hikmah dibalik persaksian ialah, “Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkan.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Dikarenan pencuri juga ditetapkan sebagai dosa besar, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalilh Al-Utsaimin, “Dosa besar adalah yang Allah ancam dengan suatu hukuman khusus. Maksudnya perbuatan tersebut tidak sekedar dilarang atau diharamkan, namun diancam dengan suatu hukuman khusus. Semisal disebutkan dalam dalil ‘Barangsiapa yang melakukan ini maka ia bukan Mukmin’, atau ‘Bukan bagian dari kami’, atau semisal dengan itu. Ini adalah dosa besar. Dan dosa kecil adalah dosa yang tidak diancam dengan suatu hukuman khusus”.

Lalu bagaimana dengan HAM memiliki arti seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

HAM sendiri terinspirasi dari ajaran Islam yang mempunyai batasan dalam kebebasan, seperti kebebasan mengumpulkan harta juga tidak boleh merugikan masyarakat. Oleh karena itu, tindakan pencurian dalam hukum Islam mendapat ancaman dengan sanksi potong tangan yang merupakan salah satu cara pencegahan agar pelaku pencuri mendapat efek jerak dan tidak mengulanginya.

Tapi tenang dalam hukum Islam tidak sesimpit itu, ijma’ ulama memang sepakat sanksi mendasar bagi pencuri ialah dipotong tangannya. Meskipun seperti itu, perlu ditakar terlebih dahulu, jika syarat pencurian tidak terpenuhi secara sempurna, maka tidak diberikan sanksi potong tangan, tapi diberikan sanksi yang menjadi alternatif lain yang disebut dengan hukum takzir, yaitu sanksi yang diberikan untuk pembelajaran.

Para ulama memetakan unsur pencurian, salahnya mengambil harta secara diam-diam, atau mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna jika: (1) pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya, (2) barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemilikinya, dan (3) barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri.

Apabila ada syarat yang belum terpenuhi, maka hukum potong tangan tidak berlaku, melainkan yang digunakan ialah hukum takzir. Sebagai contoh, pencuri yang sudah mengumpulkan harta curiannya dari pemiliknya, namun harta curian tersebut tidak terbawa, dengan kata lain, perpindahan harta curian tersebut masih berada di sekitar pemilik hartanya. Maka menurut para ulama kasus tersebut di anggap syarat pencuriannya belum sempurna.

Ulama empat madzhab dan KHUP yang diterapkan di Indonesia menetapkan bahwa pencurian terhadap barang yang tidak ada tempatnya (hiriz) tidak dapat di ancam dengan hukuman had (potong tangan), melainkan diberikan hukuman takzir (pemberian pengajaran).

SUMBER:

Hamdar Mitasari. (2012). Pidana Potong Tangan Pada Delik Pencurian Perspektif HAM. Skripsi

Almanhaj. Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM dari https://almanhaj.or.id/1670-menyebut-hukum-potong-tangan-sebagai-tindak-pelanggaran-ham.html

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code