cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Membumikan Worldview Islam Dengan Kreativitas Digital, Melawan Imperialisme Budaya

Sarjana Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Darussalam Gontor, Masau Dito Pendi, S.Ag, menyampaikan pesan penting dalam forum bincang santai merespon isu-isu pemikiran kontemporer dalam masyarakat yang beredar luas di media online. “Tantangan di zaman sekarang ini, khususnya di era globalisasi yaitu imperialisme budaya. Di mana bercampurnya suatu budaya bangsa yang melebur menjadi satu. Jadi di era globalisasi ini, seakan-akan perbatasan bangsa-bangsa tidak memiliki sekat antar satu negara dengan negara lain. Masau Dito mengilustrasikan warna biru yang dicampur dengan warna kuning, maka warna tersebut akan melebur menjadi warna hijau. Kita tidak memiliki pengetahuan apakah lebih dominan warna biru ataukah dominan pada warna kuning.

Tanpa kita sadari, budaya-budaya asing telah melebur dengan budaya kita saat ini, bahkan sebagian kalangan menganggap budaya-budaya tersebut memang bagian dari kebiasaan, padalah budaya tersebut telah diadopsi menjadi budaya kita, tanpa melalui proses modifikasi. Jangan sampai kita hanya menjadi penikmat dari layar lebar yang mereka persaksikan kepada kita. Kita harus menjadi pemeran utama yang dapat menyebarkan nilai-nilai positif dengan memasukkan nilai-nilai islami”.

Jadi, menjadi “pemeran utama” dalam pandangan Masau Dito Pendi, seorang sarjana yang hebat. Menurut beliau, pemeran utama itu merupakan satu langkah penting. Tapi perlu diingat, sebelum menjadi pemeran utama, ada baiknya membentengi diri dengan memperdalam ilmu agama. Karna dengan itu, orang yang berperan menjadi pemeran utama dapat membatasi dirinya dari larangan-larangan syariat.

Itulah mengapa ketika menjadi seorang ahli di dalam suatu bidang ilmu sekuler, idealnya mempelajari ilmu agama sangat ditekankan pada masa lalu, sekurang-kurangnya hal tersebut dapat menyelamatkan diri kita dari batasan-batasan yang dilarang oleh syariat.

Pesan Masau Dito itu disampaikan kepada para audience di acara forum Insaf Talk, Sabtu (16 November 2024). Mereka yang menyebarkan kebaikan di platfrom media sejatinya telah mengurangi hal-hal yang bermuatan negatif. Mereka sedang bertarung narasi untuk membangun peradaban dari sebuah narasi berbasis iman dan takwa.

Tantangan imperialis budaya berat. Sebab, persaingan hegomoni masih menjadi arus besar bagi pejuang ilmu. Para produksi perfileman, penulis fiksi sengaja memberi bumbu penyedap ke dalam karyanya-dengan menaburi bubuk percintaan atau suatu hal yang kurang layak dipublikasikan- karna hal ini dianggap berhasil meraup keuntungan besar dari hasil penjualan domestik.

Inilah tantangan pegiat sosial media, khususnya ditujukan kepada pesantren, perguruan tinggi Islam, dan lembaga-lembaga Islam. Mereka perlu melakukan reformasi produksi narasi dan perfileman internal Indonesia, tanpa mengadopsi idiologi orang Eropa, “Art to art”, atau orang Barat, “Art to money” tapi Indonesia perlu membangun ciri khasnya sendiri, “Arto to dakwah” yaitu sebagaimana bapak perfileman Indonesia Usmar Ismail memasukan nilai-nilai keislaman yang sangat kental di dalamnya.

Maka demikianlah, kreativitas digital sangat diperlukan bagi ummat Muslim saat ini. dengan menaburkan kebaikan-kebaikan di berbagai platform media sosial untuk menjadi penangkal dari tantangan imperialis budaya dan ancaman racun sekularisme dalam dunia digital Islam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code