
AQLpeduli, Khazanah – Kesempurnaan perjuangan penerus risalah bukan saat berhasil menggapai garis finis, atau mencapai tujuan tertentu. Tetapi perjuangan itu akan sempurna saat mampu bersabar saat berjuang. Kesempurnaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang menjadi standar perjuangan, bukan ukuran manusia. Hal ini senada dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Az-Zumar ayat 10. Dia berfirman;
ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.”
Tugas utama penerus risalah adalah menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada masyarakat. Nafas tersebut harus menjadi landasan sebuah program organisasi yang bergerak di bidang dakwah. Penerus risalah dalam bentuk tim harus menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan. Program-program dakwah harus terhubungan dengan Al-Quran. Itu agar pesan-pesan Al-Qur’an tersampaikan kepada masyarakat. Itu adalah bentuk militansi penerus risalah terhadap Al-Qur’an.
Catatan penting yang harus digaris bawahi adalah penerus risalah harus terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Al-Qur’an, membacanya, menghayatinya, mentadabburinya, lalu mengamalkan kitab suci itu sebelum menyampaikan kepada masyarakat luas. Mulai dari diri sendiri. Minimal dalam hal ini penerus risalah harus mempunyai target khatam Al-Qur’an yang melampaui masyarakat luas. Misalnya khatam Qur’an tiap tiga hari sekali.
Sangat tidak elok jika lembaga dakwah hanya menjadi EO Al-Qur’an, karena mengejawantahkane ke diri sendiri terlebih dahulu lalu membuat program ke masyarakat. Motif dari perjuangan tersebut adalah surah Al-Furqan ayat 52. Allah subahanu wa ta’ala berfirman;
فَلَا تُطِعِ الۡكٰفِرِيۡنَ وَ جَاهِدۡهُمۡ بِهٖ جِهَادًا كَبِيۡرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.”
Sudah menjadi kewajiban bagi penerus risalah untuk hidup bersama Al-Qur’an. Berjuang menyampaikan Al-Qur’an sampai ajal menjemput. Gaya hidup harus membawa Al-Qur’an. Sama halnya ketika Ibunda Aisyah RA ditanya tentang ahlak Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Beliau menjawab, “ahlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.” Sebagai penerus risalah Rasulullah, maka semua sisi kehidupan harus diwarnai Al-Qur’an. Komitmen di hadapan Al-Qur’an harus kuat. Militansi terhadap Al-Qur’an harus nyata tiap hari. Ini merupakan upaya-upaya mengikat jiwa dengan kitab suci tersebut.
Penerus risalah harus setiap pada Al-Qur’an sampai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu menyaksikan kesetiaan tersebut. Sebab, Al-Qur’an akan menjadi penolong di akhirat kelak. Namun terpenting dari itu semua adalah mendapatkan hidayah Allah SWT.
Sama halnya Rasulullah SAW, penerus risalah harus menanamkan komitmen kuat bahwa umur yang dihitung adalah waktu bersama Al-Qur’an. Hidup harus selalu terkoneksi dengan wahyu. Jika tidak ada wahyu lagi, maka lebih baik mati. Buat apa hidup jika terputus dari wahyu.
Seperti Rasulullah SAW yang hidupnya selalu terkoneksi dengan Al-Qur’an. Saat surah An-Nashr turun, semua sahabat bersuka-cita, karena Islam telah menang. Namun Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ibnu Abbas justeru bersedih. Kesedihan tersebut bukan tanpa alasan. Keduanya mengetahui bahwa turunnya surah itu merupakan tanda ajal Rasulullah sudah dekat. Sebab, tugas Rasulullah adalah menyampaikan wahyu kepada umat manusia.
Hal itu yang harus ditanamkan dalam jiwa agar bisa bersabar dalam perjuangan. Godaan memang selalu datang silih berganti. Berbagai iming-iming duniawi selalu datang kepada orang yang memutuskan menjadi penerus risalah. Tapi, balasan di akhirat jauh lebih baik daripada iming-iming duniawi. (Admin)