Syarat-Syarat Puasa (Syarat Wajib dan Syarat Sah Puasa)

Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya juga memiliki ketentuan syarat-syarat, bukan hanya kuat menahan rasa lapar dan dahaga dan sukses menahan hawa nafsu, tetapi puasa juga harus memenuhi syarat-syarat wajib yang menjadikan ibadah puasa yang sedang dilaksanakan dapat diterima. Berikut di antaranya syarat-syarat wajib dan sahnya puasa:

Syarat Wajib

  1. Beragama Islam
    Puasa merupakan ibadah yang tidak wajib dikerjakan bagi orang-orang yang memiliki udzur syari, bahkan dianjurkan (karna termasuk ke dalam rukhshah), “Sesungguhnya Allah suka apabila rukhshah (keringanan)-Nya dilaksanakan sebagaimana Allah benci apabila maksiatnya dilaksanakan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban al-Baihaqi). Termasuk juga yang tidak beragama Islam.

    Beragama Islam adalah syarat wajibnya puasa. Oleh sebab itu, diluar agama Islam tidak dikenakan tuntutan untuk berpuasa, jika orang itu berpuasa maka puasanya tidak sah. Adapun orang yang sebelum Islam kemudian memisahkan dirinya (murtad), ia tidak dikenai tuntutan untuk berpuasa pada saat ia murtad, termasuk saat ia diminta untuk bertobat, jika berpuasa maka tidak sah. Tapi beban kewajiban berpuasa masihi dipikul olehnya. Namun jika ia kembali (mualaf), maka wajib mengqadha puasanya, karena dengan keislamannya itu ia wajib melaksanakannya, dan belum terhitung gugur karena murtad.
  2. Baligh (dewasa)
    Baligh merupakan syarat diurutan ke-2 pada syarat wajib puasa, artinya orang-orang yang belum sampai pada usia baligh, maka ia belum dibebankan untuk menunaikan ibadah puasa. Hal tersebut didasari dari hadis Rasulullah saw, “Pena diangkat dari tiga orang, dari anak kecil hingga baligh (dewasa), dari orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, dan dari orang gila hingga ia sembuh dari penyakit (gilanya).” (HR. Abu Daud).

    Makna yang terkandung dari kalimat ‘pena diangkat’ tidak dibebankan bagi orang-orang yang telah disebut di atas, kecuali apabila pena tersebut sudah diturunkan. Artinya barulah kewajiban itu dibebankan kepada mereka. Seperti seorang anak kecil, ia akan dikenai tanggungjawab untuk menunaikan ibadah puasa setelah usianya tujuh tahun jika ia memiliki kesanggupan untuk berpuasa, oleh karenanya ini memerlukan olah fisik dan olah jiwa.

    Jika anak-anak sudah beranjak dewasa, ia tidak diwajibkan untuk mengqadha puasanya selama ia menuju baligh. Sebab pada masa itu, tidaklah diwajibkan untuk berpuasa, tetapi latihlah anak-anak itu sedikit demi sedikit untuk berpuasa agar terbiasa.
  3. Memiliki Akal Sehat
    Kemudian setelah ia sudah mencapai usia baligh, maka tahap selanjutnya adalah memiliki akal yang sehat, lantas bagaimana dengan orang yang memiliki penyakit dari lahir atau dia memiliki akal yang sehat tiba-tiba mendadak gila, maka semua itu sudah terangkat kewajibannya.

    Sebagaimana hadis berikut yang akan dijabarkan, “Pena diangkat dari tiga orang, dari anak kecil hingga ia baligh (dewasa), dari orang yang tidur hingga bangun dari tidurnya, dan dari orang gila hingga ia sembuh dari penyakitnya (gila).” (HR. Abu Daud). Jadi bila ia telah sembuh dari penyakit gilanya maka tidak diwajibkan untuk mengqadha puasanya selama ia tertimpa penyakit gila, dan tidak dihitung apakah banyak ataukah sedikit puasa yang ditinggalkannya.

    Sementara, orang yang hilang akalnya temporari (sebentar), ia tidak diwajibkan untuk melanjutkan puasanya ketika ia pingsan itu karena tidak sah, jika ia tengah berpuasa. Jika sudah sadar, ia wajib mengqadha puasanya di hari setelahnya atau hari lain. Pingsan di sini masuk ke dalam kategori penyakit, Allah swt berfirman,”Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak (hari yang ia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

    Kendati ada orang yang mualaf di tengah bulan Ramadhan, atau orang gila mendadak sembuh dari penyakitnya di siang hari, atau anak kecil yang sudah mencapai usia baligh, dan mereka tidak puasa sebelumnya, dianjurkan bagi mereka menahan hawa nafsunya dari makan dan minum, sebab untuk menghormati bagi orang-orang yang sedang melaksanakan ibada puasa. Demikian, karena orang gila termasuk udzur syari, orang yang mualaf ia juga termasuk, sedangkan anak kecil tidak dibebankan untuk berpuasa.

    Demikian, orang-orang yang disebutkan di atas, tidak memiliki kewajibkan mengqadha puasanya dikarenakan malam yang mereka jalani belum disempurnakan pada hari itu. Oleh sebab itu, saat siang harinya tidak diwajibkan puasa, disamakan dengan orang yang sedang shalat, di pertengahan shalat ia mengalami gangguan jiwa (gila), ia tidak diwajibkan shalat juga tidak diwajibkan mengqadha shalatnya.

    Apabila seorang anak kecil sedang latihan membiasakan untuk puasa, namun di tengah-tengah itu ia baligh, maka diwajibkan untuk menyempurnakan puasanya. Kendati orang yang tidur (hilang akal sementara) sepanjang hari oleh sebab lemas berpuasa di siang hari, tidak berpengaruh apa-apa terhadap kewajiban puasa. Sebab, ia masih memiliki kesadaran penuh atas dirinya, berbeda dengan orang yang pingsan tadi. Orang yang tidur dianggap masih memiliki atas dirinya, karena jika dibangunkan ia akan bangun dari tidurnya.

    Nah kalau ada orang yang pingsannya hanya sebentar, maka itu tidak berpengaruh sama sekali. Jika tidak kunjung sadar, barulah puasanya batal. Adapun jika ia tengah berpuasa, namun diperjalanan saat itu puasa gila, maka puasanya langsung terhitung batal, sebab gila salah udzur yang menggugurkan kewajiban.
  4. Suci dari Haid dan Nifas
    Perempuan yang sedang berhalangan (haid) maka ia tidak dibebankan sebuah kewajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berdasarkan ketika Ummul Mukminin Aisyah ra berkata, “Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Muslim).

    Maknanya perempuan yang sedang berhalangan (haid) tidak diperbolehkan puasa dan wajib untuk mengqadhanya. Hal ini pula yang menjadi landasan qiyas bagi perempuan-perempuan yang sedang nifas (darah yang keluar setelah melahirkan) karna maknanya masih serumpun dengan haid.

    Imam An-Nawawi mengatakan, “Kewajiban mengqadha puasa bagi perempuan yang haid dan nifas adalah kewajiban dengan perintah yang baru. Bukan kewajiban yang dilimpahkan ketika perempuan itu haid dan nifas. Pendapat ini dinilai yang paling kuat bagi yang mengikuti madzab Syafi’i (Al-Majmu).

    Perempuan yang haid dan nifas diharamkan untuk berpuasa, bahkan jika ia mampu menahan makan dan minum lalu meniatkannya untuk berpuasa, tapi ia tidak mendapatkan dosa. Apabila perempuan yang suci di siang hari saat Ramadhan, ia dianjurkan untuk tidak makan dan minum, untuk menghormati bagi orang-orang yang tengah melaksanakan ibadah puasa.
  5. Mampu
    Jika ia memiliki badan yang sehat, beragama Islam serta akal pun sehat namun ia tidak mampu untuk melaksanakannya, ia tidak diwajibkan puasa. Seperti orang yang sudah lanjut puasa, jika puasa maka itu akan memberatkan baginya. Begitu pula bagi orang yang sedang sakit (kemungkinan sakitnya aga lama) sebab puasa hanya dibebankan bagi orang-orang yang mampu untuk melaksanakannya dan untuk menggantinya mereka harus membayar fidyah, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah.” (QS. Al-Baqarah: 184). “….dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam beragama. (QS. Al-HajjL 78).

    Ibnu Abbas mengatakan, ” Orang yang sudah tua memberi makan satu orang miskin untuk membayar satu hari puasa (puasa yang ditinggalkannya).” (HR. Bukhari). Abu Hurairah pun juga sama, “Siapa yang lanjut usianya, dan ia tidak memiliki kesanggupannya untuk puasa di bulan Ramadhan, ia wajib memberikan satu mudd gandum untuk membayar setiap harinya.” (HR. al-Baihaqi).

Syarat Sah Puasa

  1. Beragama Islam
    Orang yang beragama Islam merupakan objek utama dari perintah diturunkannya ibadah puasa untuk melaksanakan hukum syariat. Jika ia puasa masih dalam keadaan belum masuk Islam, puasanya tidak terhitung sah. Karna ini salah satu cabang perkara iman. Demikian orang yang murtad di tengah puasanya.
  2. Tamyiz (baligh dan berakal)
    Puasa bagi orang yang belum tamyiz (anak kecil dan orang yang tidak memiliki akal sehat) maka tidak diwajibkan untuk puasa. Jika anak sampai umurnya di usia tujuh tahun, dihitung sah. Bagi yang masih di bawah tujuh tahun belum terhitung sah
  3. Terbebas dari Udzur Syari Puasa
    Yaitu tidak sedang haid atau nifas, meskipun hanya sebagian dari siang hari Ramadhan. Begitu juga tidak gila atau pingsan yang menghabiskan sepanjang siang hari di bulan Ramadhan.
  4. Waktu yang Ditentukan Untuk Puasa
    Jadi, jika belum memasuki bulan Ramadhan maka puasanya di luar sunah tidak sah walaupun meniatkan puasa Ramadhan, kecuali niatnya untuk qadha. Hingga melihat hilal atau menggenapkan bilangan saat hari Ramadhan. Hari itu dihitung mulai dari terbitnya fajar (subuh) hingga terbenamnya (maghrib), berdasarkan firman Allah swt, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah sampai datang malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

SUMBER:
Muhammad az-Zuhaili. (2018). Al-Mu’tamad Fiqih Asy-Syafi’i.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top