cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Rukun-Rukun Puasa

Seperti ibadah-ibadah lainnya mempunyai rukun-rukun, untuk rukun puasa sendiri terdiri dari tiga, yaitu sebagai berikut:

  1. Orang yang berpuasa
  2. Niat
  3. Menahan diri dari yang bisa membatalkan puasa
  1. Niat

Di setiap suatu amalan pasti harus dilandasi terlebih dahulu dengan niat, karna segala seuatu sesuai dengan apa yang telah diniatkan.

-Pengertian Niat

Dalam bahasa Arab niat dipahami dengan al-Qashd (tujuan, kemauan, kehendak, motiv dan visi). Secara ringkasnya niat berarti motavasi seseorang untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah puasa. Letaknya ada di hati, tidak cukup diucapkan dengan lisan, dan tidak pula mensyaratkan untuk dilafazhkan. Namun, saat melafazhkan dianjurkan membarenginya dengan hati dan dilakoni dengan perbuatan.

Niat tersebut bisa dibuktikan dengan aktivitas sehari-hari selama bulan Ramadhan. Seperti saat makan dan minum di waktu sahur, menahan dahaga di bawah teriknya mentari, menahan agar tidak berhubungan badan di siang hari (bagi pasutri) dan masih banyak lagi contoh yang ada.

-Landasan Niat

Hukum niat adalah fardhu dan wajib. Puasa Ramadhan tidak sah jika tidak diawali dengan niat. Adapun yang melandasi niat itu, dalam hadis sahabat Umar bin Khaththab, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang itu tergantung dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

-Syarat Niat

Ditetapkan pada niat itu (puasa wajib atau fardhu) tiga syarat berikut:

a. Puasa Ramadhan tidak sah apabila belum mengucapkank niat di malam harinya, demikian hadis Hafshah, Nabi saw. bersabda, “Siapa yang tidak berniat untuk berpuasa di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu daru, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Makna ‘meniatkan’ yakni bertekad di malam hari dengan niatnya, agar bisa dimampukan. Niat boleh dilakukan kapan saja, dihitung dari terbenamnya matahari, sampai terbitnya matahari. Jika niatnya diucapkan sebelum matahari terbenam atau sebaliknya, maka tidak sah.

b. Mengkhususkan Niat Puasa Ramadhan

Olehnya jika ia tidak mengkhususkannya maka tidak sah. Yang berpatokan pada sebuah hadis, “Sesungguhnya setiap orang itu tergantung dengan apa yang ia niatkan.” Hadis ini mensyarakat agar mengkhususkan suatu niat. “Setiap amal itu tergantung dengan niatnya.”

Menurut madzhab Syafi’i meniatkan puasa Ramadhan tidak harus ucap fardhu, sebab puasa Ramadhan sudah pasti fardhu, berbeda dengan shalat misalnya dhuzur, ia harus diucap kalimat fardhunya, karna bisa jadi yang hendak ia kerjakan adalah shalat sunnahnya.

Ketika berniat hendaknya menafikan segala keraguan yang hinggapi dirinya. Sebagai contohnya, ada seorang berniat puasa di malam 30 Sya’ban di esok harinya jika bertepatan pada tanggal 1 Ramadhan, ternyata menganggap kurang tepat perhitungannya maka ia tidak jadi puasanya. Padahal memang esok harinya puasa, maka puasa yang telah diniatkan tidak sah, disebabkan keraguan yang ada pada dirinya.

c. Mengulangi Niat

Yaitu mengucapkan niat disetiap malam harinya sebelum terbit fajar untuk mengerjakan puasa di pagi harinya.

Hukum Niat

a. Keliru Dalam Meniatkan

Apabila seorang hendak puasa tetapi keliru dalam meniatkan meniatkan harinya, puasanya tetap sah. Contohnya, ia berpuasa untuk esok hari dan menganggap besok adalah hari senin, padahal besok adalah hari selasa, atau jika berniat puasa Ramadhan keliru dalam mengingat tahunnya, kiranya sekarang tahun 1418 H padahal tahun 1419 H. Berbeda dengan seorang yang ingat harinya besok adalah hari senin tapi ia meniatkannya untuk puasa di hari sesala, maka tidak sah niatnya itu.

b. Menentukan Penyebab Puasa

Yakni yang melandasi apa sebab-sebab dari ia melaksanakan puasa tersebut

c. Menghentikan Niat

Apabila seorang sudah mengucapkan niatnya pada malam hari, tiba-tiba ia mengurungkan niat puasanya, puasanya tidak batal dan tetap sah. Begitu pula sebab ia kerapkali ingin membatalkan puasanya atau oleh sebab kedatangan sanak, sama saja puasanya tetap sah.

Di sisi lain, jika ia sudah mengurungkan niatnya ke dalam niat baru, maka hukum niatnya telah gugur sebab diucapkan sebelum fajar terbit. Berbeda ketika ia makan pada malam hari, sebab tidak bertentangan dengan niat itu.

d. Mengubah Niat

Jika ia meniatkan untuk puasa Ramadhan, tiba-tiba berubah pikiran jadi meniatkannya untuk menunaikan puasa kafarat. Maka dikembalikan pada niat awal.

e. Niat Puasa Perempuan Haid

Apabila perempuan yang sedang haid berniat puasa untuk esok hari, dan ia berniat sebelum haidnya selesai, di malam yang sama haidnya selesai, atau jika haid tersebut adalah yang pertama, atau haid rutinnya, dan haidnya sempurna pada malam itu juga, puasa perempuan itu sah. Prinsip utamanya selama bisa dipastikan haid tersebut tuntas di malam harinya, dapat dipastikan juga bahwa di siang harinya ia telah suci, puasanya sah pula.

f. Mengaitkan Niat Dengan Ucapan Insya Allah

Jika ada orang yang berniat puasa (Ramadhan) dan dibarengi kalimat ‘Insya Allah’, tujuan utamanya adalah untuk dilimpahkan keberkahan di dalamnya dan tidak dapat memastikan puasanya jadi, sebab jika diberi hidupnya masih berlanjut, sehingga ia bisa menyempurnakan puasanya, ucapan tersebut tidak membatalkan puasanya.

g. Ragu Ketika Niat

Seseorang telah berniat puasa (Ramadhan) tapi dia ragu diucapkannya setelah atau sebelum fajar. Dalam hal ini, ditetapkan tidak sah, dasarnya ia belum melakukan niat.

2. Menahan Diri Dari Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa

Beberapa hal yang dapat membatalkan puasa akan disebutkan sebagai berikut:

a. Makan dan Minum

Hal ini landasannya sesuai firma Allah Ta’ala, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakan;ah puasa sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Jika ada orang yang makan atau minum dalam kondisi sadar tengah berpuasa, maka puasa tersebut telah batal. Namun jika ada makanan nyangkut di sela-sela gigi atau gusi, lalu makanan itu ikut tertelan dengan air liurnya, itu tidak membatalkan puasa jika orang tersebut tidak dapat membedakan antara air liur dengan makanan (merasakan) itu. Hal tersebut dikatakan udzur dan bukan termasuk ke dalam lalai. Kendati ia dapat membedakan antara makanan (merasakan) dan air liurnya maka puasanya batal.

Jika ada air yang tidak sengaja masuk ke dalam mulut atau dimasukkan secara paksa, itu tidak membatalkan puasanya karna tidak ada unsur kesengajaan. Demikian puasanya tidak batal jika terdapat unsur paksaan. Adapun dalil yang tidak membatalkan puasa disebabkan lupa, “Barangsiapa yang lupa, padahal ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia meneruskan puasanya karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan ia makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila orang yang mualaf makan dan minum di tengah kondisi ia sedang berpuasa, dalam kondisi tidak tahu, atau hidup di daerah pelosok di luar jangkaun dakwah yang tidak mengetahui makan dan minum itu membatalkan puasanya, hukumnya disamakan dengan orang yang lupa, maka puasanya tidak batal yang hukumnya telah ditetapkan di dalam nash.

b. Masuknya Benda melalui Lubang Yang Terbuka di Bagian Tubuh

Benda berarti yang nampak bisa dilihat oleh mata, sekali pun benda tersebut kecil baik yang bisa dimakan ataupun yang tidak bisa dimakan. Berbeda dengan mencium aroma seperti gas, wangi masakan dan lain sebagainya. Itu semua yang disebutkan tidak berpengaruh dalam membatalkan puasa. Yang dimaksud lubang adalah mulut, telinga, kemaluan bagian depan dan belakang yang dimiliki laki-laki maupun perempuan. Bagi yang memasuki benda ke dalam lubang yang terbuka di bagian tubuh baik sengaja atau tidak sengaja, puasanya batal dan wajib mengqadhanya.

c. Muntah Dengan Sengaja

Jika orang yang berpuasa mengeluarkan isi perutnya (muntah) dilakukan dengan sengaja, dengan cara memasukan jarinya ke dalam mulut sampai mual agar muntah, puasanya dihukumi batal, bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa yang muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengqadha puasanya. Dan siapa yang muntah karena tidak sengaja, ia tidak diwajibkan mengqadha puasanya.” (HR. Abu Daud).

Karena keadaan ketika muntah, terjadi gerakan peristaltik pada bagian organ yang mencerna makanan, itu sama saja dengan menelan makanan tersebut, memuntahkan dengan sengaja meskipun orang tersebut bisa memastikan makanannya tidak ada yang tertelan, itu membatalkan puasanya, disamakan seperti mengeluarkan seperma dengan sengaja.

Jika orang yang berpuasa mengeluarkan reaknya dari dadanya menuju mulutnya, kemudian ia menelannya, atau dikeluarkan dari hidung ke mulutnya lalu menelannya maka puasanya batal. Jika dikeluarkan dari dalam puasanya tidak batal.

d. Behubungan Badan (pasutri) Dengan Sengaja

Berhubungan badan suami istri memang dibolehkan namun jika waktunya di siang hari saat puasa Ramadhan ditambah dilakukan secara sengaja itu bisa menjadi pemicu batalnya puasa, pendapat ini merupakan ijma dari ulama. Meskipun persetubuhan yang terjadi tidak mengeluarkan seperma. Berdasarkan dalil dari firma Allah Ta’ala, “Dihalallkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu,” Lanjutnya, “Maka sekarang campurilah mereka” diteruskan ayatnya, “Kemudian disempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).

e. Masturbasi

Maksudnya adalah mengeluarkan seperma dengan sengaja tanpa berjima melalui cumbuan, tangannya dan tangan istrinya. Itu semua adalah penyebab batalnya puasa. Namun jika seperma tetap keluar di luar dari kemauannya, puasa tidak batal.

Adapun mencumbu tanpa diikut oleh keluarnya seperma itu tidak membatalkan puasa, hal ini diceritakan dari kisahnya sahabat Umar bin Kaththab, “Aku senang hati, lalu aku mencium istriku dan aku sedang puasa. Lalu aku mendatangi Nabi saw. dan aku katakan kepada beliau, ‘aku mencium istriku dan aku sedang puasa.’ Rasulullah saw. bersabda, “Tahukan kamu wahai Umar, seandainya kamu berkumur sedangkan kamu sedang berpuasa?” (HR. Muslim).

f. Haid dan Nifas

Apabila seorang perempuan puasa kemudian di siang hari haid atau nifasnya datang, puasanya batal, sebab haid dan nifas mencegah dari sahnya puasa. Hal ini bersumber dari sahabat Said al-Khudri ra pada saat Rasulullah saw ditanya ‘mengapa ada kekurang dalam beragama seorang perempuan?’ belilau bersabda, “Apakah apabila seorang perempuan haid dan nifas tidak melaksanakan shalat dan puasa?” (HR. Bukhari).

g. Murtad dan Gila

Jika terdapati orang yang sedang berpuasa, tetapi tiba-tiba di siang hari hilang akal (gila) atau memisahkan diri (murtad), batallah puasanya. Kendati keduanya merupakan penghalang sahnya puasa.

SUMBER:

Muhammad az-Zuhaili. (2018). Al-Mu’tamad Fiqih Asy-Syafi’i.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code