
Dalam PP no.42 tahun 2006, tentang pelaksanaan UU no.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pemberi) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah“.
Maka bisa disimpulkan pemberi harta wakaf (wakif) harus berasal dari orang yang tidak bermasalah dengan hukum. Tidak hanya itu, harta yang hendak diwakafkan haraus jelas wujudnya, harta milik sendiri secara penuh, berasal dari harta yang halal bukan curian ataupun dari hasil sengketa. Selain itu yang terpenting adalah kegunaannya tidak dipergunakan untuk maksiat. Sesuai dengan akad diawal, misal, jika wakif menginginkan harta yang diwakafkannya untuk kemaslahatan pendidikan maka harta wakafnya tidak boleh digunakan untuk yang lain. Serta harta wakaf ini harus dikelola oleh nazir yang Muslim, amanah dan memiliki kompeten dan berpengalaman dalam mengurusnya, hasil dari harta wakaf tersebut diberikan untuk masyarakat.
Dalam Islam, tradisi wakaf sudah ada sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat. Abu bakar berwakaf rumah, Umar bin Khaththab berwakaf tanah, Usman berwakaf sumur, Ali bin Abi Thalib berwakaf kebun di Yanbu’.
Harta wakaf ini pada hakikatnya harus berjalan hingga jangka waktu yang panjang dan pengurusnya yang amanah. Sebagaimana wakaf sumur Usman dan kebun kurmanya sampai saat ini masih berstatus wakaf. Tercatat tahun 1980 rekening atas nama Usman bin Affan berjumlah Rp. 2,4 trilyun dan per tahun bertambah sekitar Rp. 16 milyar. Pengelolanya sangat amanah dan manfaat yang bisa dirasakan sangat nyata.
SUMBER:
Hamid Fahmy Zarkasyi. (2021) Rasional Tanpa Menjadi Liberal: Worldview Islam Untuk Framework Pemikiran dan Peradaban. Vol: II