
Pembahasan paper singkat ini akan menjerang kemungkinan-kemungkinan kerusakan yang parah membebat akal-budi umat Islam yang seringkali merusak prinsip dasar peradaban Islam. Paper ini juga menjelaskan bahwa dalam konteks worldview Islam, kepentingan sosio-humainora tidak lagi didasarkan pada prinsip agama tetapi dipengaruhi oleh naturalisme yang muncul dalam kerangka pandangan hidup secular-humanisme. Dewasa sering sekali dijumpai konten-konten yang membuat kerancuan yang kemudian bersarang pada idiologi, agar seakan-akan dilakukan dengan cara bernalar dan tampak ilmiah dan dengan sengaja disebar-luaskan di kalangan umum khususnya penyenrangan ini ditujukan kepada umat Islam, dan banyak penyebaran kerancuan tersebut dilakukan oleh umat Islam.
Worldview merupakan istilah yang tidak bisa dipisahkan dari diskursus keilmuan. Worldview berarti menurut John Brooke adalah pandangan dunia yang berhubungan langsung dengan sistem nilai-nilai dan menjadi jembatan bagi sudut pandang agama yang memberi orientasi terhadap sains dan teknologi.
Sedangkan dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas worldview Islam merupakan bagian dari karekteristik yang mempunyai ciri khasnya sendiri yang dipisah-pisahkan dari worldview lainnya. Bila ditinjau dari segi kacamata Islam berarti suatu aliran yang meyakini adanya teori metafisika terhadap dunia yang nampak (visible word) dan yang tidak nampak (invisible word) atau unimaginable. Pandangan inilah yang nantinya akan melahirkan kentalnya kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan dan teori-teori metafisika. Sebetulnya, manusia tidak memiliki hak untuk meniadakan keberadaan tersebut.
Pada hakikatnya omong-omong tentang worldview berarti bila diterjemahkan bisa menjadi substrata yaitu tempat yang menjadi wadah bagi proses bernalar atau bisa juga disebut dengan mabda’ yang dimaknai dengan tempat bermula atau bisa juga dipergunakan sebagai sebuah idiologi, jika dihubung-hubungkan maka akan sejalan dengan proses turunnya wahyu.
Wahyu isitilah yang dipergunakan umat Islam berbentuk abstrak, jika dibayangkan, maka akan muncul gambaran mengenai wahyu sebagai sebuah intuisi murni, bersumber dari akal-budi manusia pada umumnya, yang dengan sadar mampu menerjemahkan kalam Ilahi ke dalam linguis yang mudah dinalar untuk manusia. Proses tersebut dapat terjadi, dikarenakan pengecualian atau hak istimewa yang diberikan Tuhan kepadanya, biasanya yang menerima wahyu adalah Nabi dan Rasul. Nabi dan Rasul pula adalah orang istimewa oleh karenanya yang diberikan wahyu adalah orang yang memiliki hak istimewa atau orang istimewa. Dengan keterbatasan akal manusia Nabi dan Rasul diberi kemampuan untuk mudah memahaminya. Dan dari segi aktivitas yang dilakukannya adalah ketaatan kepada Allah, kesempurnaan akhlak yang melekat padanya, memang sangat pantas mendapatkannya.
Berbicara mengenai entitas worldview Islam maka pada akhirnya, ujungnya akan bermuara pada peradaban yang dibawa oleh Islam. Peradaban berasal dari kata adab, adab dalam pengertian luas: pengamalan ilmu, iman, amal, dan tauhid, dalam wacana yang dirancang al-Attas yaitu ta’dib. Adab berarti juga ma’dubah ia sejenis makanan, makanan khusus yang diperuntukkan kepada jiwa atau non-fisik. Peradaban adalah sesuatu yang tidak terlihat yang berbasis pada moral dan berguna untuk orang lain. Peradaban Islam wajahnya ilmu pengetahuan, kalau tidak berdasarkan ilmu pengetahuan maka akan rusak, amal tanpa ilmu maka akan rusak. Begitula kira-kira.
Mengambil Keilmuan Dari Barat
Peradaban yang ada di Barat, sebetulnya, bukan peradaban sesungguhnya, yang namanya peradaban berarti wajahnya adalah ilmu pengetahuan. Sementara, yang diperoleh Barat adalah asumsi kerancuan yang berbasis pada secular bukan pada moral, mungkin di sisi lain ada yang bilang begitu, tapi moral yang ada di Barat sudah pasti berbeda dengan moral dalam sudut pandang Islam. Menurut Barat bahwa alam dunia secara keseluruhan bersifat materi, tanpa makna dan tujuan serta men-intoto-kan (menafikan) keberadaan zat pasti yaitu Tuhan. Padahal manusia tidak memiliki hak untuk meniadakan keberadaannya.
Menurut Barat lagi, manusia adalah seperangkat alat organ yang bertempuk, jika disatukan maka akan menjadi kerangka yang membentuk organisme tubuh. Sementara syaraf-syaraf tersebut yang berada dalam organisme tubuh yang saling berhubungan hanya bekerja memenuhi tugasnya saja dan tidak mengakui adanya keberadaan dimensi spiritual atau jiwa atau non-fisik.
Hal ini disebabkan, basis worldview yang dipergunakan Barat yaitu secular. Artinya memisah-misahkan antara agama dan semua aspek dari segala bidang kehidupan atau memberi dinding-dinding pembatas kepada aspek-aspek agama maupun kehidupan. Di sisi inilah, pion yang memperkasai lajunya jalur bidak-bidak pionner Barat menggerogoti nilai-nilai moral, kekeliruan tentang makna ilmu, kehilangan adab dan pemuasan hawa nafsu dan kebahagiaan semu di dunia.
Hakikat manusia sejak zaman dahulu adalah tetap berhubungan dengan sifat konstanta, tidak berubah mengikuti wadah atau lingkungan, berbilangan statistik, tangan tetap tangan dan akan terlihat seperti tangan, kaki tetap kaki dan akan terlihat seperti kaki begitu seterusnya. Namun, perubahan yang terjadi tidak nampak dari sifatnya yang konstan, kendati perubahan bersifat abstrak tidak bisa dinalar tapi bisa dirasakan. Perubahan terjadi disebabkan oleh adanya koeksistensi saling bergesekan yang dipengaruhi oleh peralihan atau pergeseran iklim sosio-budaya di zaman-zaman yang mendatang.
Mengenai perubahan dan hakikat yang tetap atau bersifat konstan. Prof Wan Mohd Wan Daud meramukan sebuah terobosan pemikiran yang dinamainya dengan sebutan dynamic stabilism. Dalam jangkauan yang lebih besar, memuat sejarah Islam, sekurang-kurangnya perubahan juga berdampak dalam hal-ehwal pengetahuan mencerminkan suatu gerak-daya dalam wacananya sebagai pergerakan kukuh. Hal ini menjadi penting jika dipikir-pikirkan konsepnya mampu menyerap dan menyesesuaikan berbagai gagasan luaran, teori, dan amalan mengikuti pandangan alam fisika maupun metafisika, akhlak dan juga hukum yang statis di dalam Islam.
SUMBER:
Amir Reza Kusuma. (2022). Jurnal. Konsep Psikologi Syed Muhammad Naquib al-Attas.