cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Konsep Eskatologi Dikaji Dari Pemikiran Al-Ghazali

Berbicara mengenai eskatologi, secara umum, pada hakikatnya tidak bisa terlepas dari kait dan hubungannya dengan filsafat. Artinya ada peran filsuf yang berkecimpung di dalamnya. Secara harfiah, eskatologi berarti proses penyerapan ilmu pengetahuan mengenai adanya kehidupan setelah kematian dengan kata lain adalah kebangkitan jiwa. Orang-orang Muslim meyakininya dengan keberadaan tersebut, dikenal di kalangan luas sebagai kehidupan akhirat.

Di alam akhirat inilah Islam mengenalnya dengan istilah-istilah; Yaumul Qiyamah (hari kiamat), Yaumul Khuruj (hari kebangkitan dari kubur atau kematian), Yaumul Ba’ats (hari kebangkitan), Yaumul As-Sa’ah (waktu atau saat kiamat), Yaumid Din (hari pembalasan), Yaumul Hisab (hari perhitungan), Yaumul Fath (hari kemenangan), Yaumul Talaq (hari pertemuan) seterusnya dan seterusnya. Semua istilah-istilah tersebut yang digunakan diambil dari sumber yang diyakini dan Imani ummat Muslim yaitu Al-Qur’an.

Sementara, Imam Al-Ghazali ingin melakukan pembuktian terhadap filsuf bahwa Islam memiliki konsepnya sendiri dan berbeda dengan apa yang diyakini selama ini oleh mereka. Kontribusi besar Al-Ghazali tidak hanya terbatas pada aspek keyakinan keagamaan, tapi juga mencakup pemahaman yang lebih mendalam terkait substansi jiwa. Tentu pembuktian ini berlandasan dari Al-Qur’an, masalahnya para filsuf tidak mengimani Al-Qur’an. Oleh karenanya, Al-Ghazali memiliki cara lain yakni melalui rasio diikuti oleh premis-premis yang mudah dinalar, dalam hal ini, Al-Ghazali melakukan proses penyulingan terhadap Al-Qur’an dan memerasnya pada akhirnya terdapat intisari dari sebuah ayat maupun surah yang kemudian dikeluarkan, inilah yang oleh Al-Ghazali digunakan untuk berargumen.

Al-Ghazali menolak pendapat para filsuf, menurutnya, konsep Tuhan tidak beremanasi dalam kaitannya eskatologi tapi Tuhan memiliki sifat, dengan ini, Tuhan berkehendak yaitu mampu menciptakan atau menghidupkan dan sebagainya. Artinya hukum sebab-akibat tidak hanya berlaku terhadap hukum alam belaka tetapi ada peran Tuhan di dalamnya yakni hukum Tuhan Oleh sebab itu, kausalitas yang terjadi pada Nabi Ibrahim (QS. Al-Anbiya: 69) dan Maryam (QS. Ali’imran: 47) benar adanya.

Dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah Al-Ghazali mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia terbagi menjadi dua zat, premis ini diyakini melalui pemahaman logis yaitu jiwa dan raga. Jiwa adalah sesuatu yang bersifat metafisika bukan sesuatu wujud fisika bahkan bisa diindera atau immaterial, jiwa memiliki peran utama sebagai penggerak yang menggerakan raga. Sedangkan raga adalah sesuatu yang bersifat fisika ia menempati posisi sentral sebagai wujud, bisa diindera atau berada dalam alam duniawi.

Namun kendati demikian, keduanya tetap saling berhubungan dalam satu-kesatuan, berada dalam substrata yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam hubungannya, jiwa membutuhkan raga sebagai kerangka gerak, sementara raga membutuhkan jiwa untuk menjadi peran utama dalam menggerakan. Namun, sewaktu-waktu jika jiwa tersebut terangkat dari raganya, ia tidak lagi memiliki pondasi yang kuat, maka raga tersebut akan mudah terurai.

Pandangan Al-Ghazali terkait eksistensi dari konsep eskatologi rupanya memiliki pendapat yang serumpun dengan pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf, bahwa eksistensi jiwa berada dalam dimensi lain, tidak menempati posisi ruang dan waktu, sehingga keberadaannya hanya berupa teori metafisika atau ukhrawi. Di sisi lain, filsuf mengatakan kontigensi kehidupan setelah kematian adalah hal yang mustahil. Dengan kata lain, mereka mengingkari keberadaan Tuhan yang menempati posisi sentral, oleh karenanya Al-Ghazali berusaha mengubahnya ke dalam perspektif Islam.

Menurut Ghazali, kematian merupakan kondisi di mana terangkatnya jiwa atau ruh dari dalam jasad atau tubuh atau kedua zat tersebut menemui perpisahannya yang disingkap oleh malaikat maut. Kematian bukanlah proses penyubliman ruh terhadap jasad kemudian mengudara dan hilang begitu saja, tetapi proses menuju kepada jenjang kehidupan baru, berbeda dengan kehidupan sebelumnya ketika di dunia.

Penggambaran Ghazali, mengenai kematian dalam al-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah:

“Maka ketika kematian benar-benar tidak dapat dipisahkan dari seseorang, ketauhilah, itulah kematiannya di dunia. Ada empat malaikat yang datang menemuinya, yang satu menarik nyawanya dari telapak kaki kanan, yang kedua menarik dari telapak kirinya, yang ketiga menarik dari tangan kanannya dan yang keempat menarik nyawa itu dari tangan kirinya. Kadang, sebelum nyawanya sampai di tenggorokan, alam malakut justru dilihatkan oleh malaikat-malaikat itu kedepannya. Para malaikat itu kemudian memperlihatkan apa yang sebenarnya telah ia lakukan di dunia. Mereka berputar-putar berkeliling dari alam malakutnya. Jika kala itu mulut irang itu tak terkekang, pasti ia akan berkatan dan menceracau kemana-mana tentang wujud para malaikat yang dilihatnya itu. Bahkan kadang ia kembali ke dirinya yang baru membawa apa yang telah dilihatnya dan menyangka bahwa semua yang dirasakannya itu tak lain hanyalah kerjaan setan, kemudian ia kembali tenang, lerai dan omongannya bisa dimengerti orang lain, sementara para malaikat masih saja berusaha mencabut nyawanya dari ujung jari, dari pucuk-pucuk tangannya. Nyawanya benar-benar tercabut seperti tercabutnya kotoran dari sebuah tempat berisi air. Sedang nyawa orang yang durhaka akan tercabut seperti ditariknya besi panas dari bulu-bulu (wol) yang basah.”

Kemudian Ghazali juga berpendapat bahwa ada kemungkinan jasad itu akan dibangkitkan kembali setelah menemui kematian. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: “Jiwa tidak akan bisa mengetahui kesenangan mata yang samar baginya.” Sehingga tidak mungkin jika tubuh yang mengetahui kesenangan tersebut tidak ikut serta dalam kebangkitan kembali setelah kematian. Dalam redaksi lain, “Allah berfirman: “Telah aku persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak bisa didengar oleh telinga, dan tidak terdetik dalam hati manusia” (HR. Muslim). Dari sinilah Ghazali menyimpulkan bahwa jasad dan ruh atau tubuh dan jiwa akan kembali dibangkitkan setelah kematian.

SUMBERR:

Zahara Azmi Yanti Putri. Jurnal. Kebangkitan Jiwa Dalam Konsep Eskatologis: Tinjauan Pemikiran Filsuf Muslim.

Edy Mukminin. (2023). Skripsi. Studi Komparasi Eskatologi Al-Ghazali Dan Fazlur Rahman Dalam Pendidikan Islam

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code