Setelah mengarungi sekurang-kurangnya sebesar kulit kacang pada paper sebelumnya pemahaman tentang bahayanya penyebaran pluralisme agama, yang digadang menjadi sebuah tren, sekarang kita mencoba untuk beralih kepada apa yang disebut dampak, atau hasil sesudah terjadi dalam hal ini kaitannya dengan pluralisme agama.
Sedikit mengulas kembali, pernahkah di antara kita mendengar celoteh seseorang dari kalangan Muslim, ‘kita diciptakan sama, dengan satu Tuhan, tidak masalah berbeda agama dan ras, yang penting pemahamannya sama saja, menuju kepada Tuhan yang satu’, tetapi juga membaca tafsir, sekaligus mendukung gerakan pluralisme agama. Apa yang kita dengar ataupun saksikan sebenarnya tidak bisa dipahami dengan akurat, dan karenanya tidak sepenuhnya bermakna. Yang menarik adalah bahwa pelafalannya dibungkus dengan keintelektualan menjadi larik-larik ilmiah yakni penerimaan dan pengulangan bunyi. Hal tersebut memaksakan prinsip ke dalam dunia akademik.
Sebermula salah satu penyebabnya adalah bahwa kalimat yang diutarakan lenyap begitu dilisankan, jika hanya sekali, dan pendengar tidak serta-merta menghubung-hubungkankan tuturan kata yang susul-menyusul, dan tidak bisa dilacak lagi, menjadi suatu rangkaian yang bermakna. Lain halnya jika telah terekam berwujud visual atau tulisan akan dengan mudah bisa ditata dalam pikiran karna bisa disusun. Kalimat tersebut adalah residu, kita bisa mengatur ulang apa yang sudah diutarakan sebelumnya untuk memahami yang ada dalam pikiran. Semua orang segera mengambil kesimpulan, meskipun kesimpulan yang mereka buat pahamnya berbeda-beda, tapi intinya bahwa pluralisme agama dibolehkan.
Coba kita perhatikan hal-hal yang terjadi di sekitar kita agar lebih mempertimbangkan lagi tentang dampak dari pluralisme agama bisa lebih diwaspadai. Berita yang ditemui misalnya dalam suatu chanel berita mewartakan, ‘masyarakat bergotong-royong mendanai pondok pesantren lintas agama’. Tidak tahu apa yang terlintas dipikirannya saat mendapat ide tersebut. Proses pengajarannya bagaiamana dan terlaksana peletakkan batu pertamanya, kita tidak tahu.
Dalam kebudayaan, seperti Islam di Indonesia, kearifan shalawat mensyaratkan berasal dari suatu tradisi. Sebenarnya, kebudayaan-kebudayaan lain juga demikian. Rasa nyaman menyelimuti jiwa ketentraman jika hadir di sana, kalau peraturan-peraturannya ditaati oleh pendengar, dan sebagus apapun shalawat dilantunkan, kalau kondisinya tidak tertib maka suasana harunya juga tidak akan sepenuhnya bisa sampai ke khalayak. Kalau deretan vokal shalawat dan tata tertib yang kita lihat itu tidak dilaksanakan akan terasa adanya sesuatu yang hilang.
Hal tersebut sangat jelas kalau biasanya orang sehat melantukan shalawat di majelis-majelis, rumah duka, atau masjid-masjid. Dalam bershalawat, misalnya, sama sekali tidak memikirkan untuk menempatkan tempatnya di mana. Namun, dalam pembicaraan tentang shalawat hal yang menggegerkan kita adalah di suatu daerah, hal yang tak biasa dalam peresmian gereja diiringi dengan tabuhan dan lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah, maka dikatakan bahwa shalawat memiliki tata tertib tersendiri yakni memakai pakaian yang sopan, memilih tempat yang baik dan ditujukan hanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu ‘alam bis shawab…
semoga Allah turunkan hidayah kepada kita semua…
SUMBER:
Muhammad Husni Mubarok. (2023). Jabar.viva.co.id dari
Didik Mashudi. (2023). TribunMataram.com dari https://mataraman.tribunnews.com/2023/07/07/sumbangan-masyarakat-mengalir-untuk-peletakan-batu-pertama-pondok-pesantren-lintas-agama-di-kediri
Johan Setiawan. (2019). Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pluralisme Agama Dalam Konteks Keindonesiaan. Jurnal Pemikiran Islam