cropped-Desain_tanpa_judul__21_-removebg-preview-1.png

Self-Serving Bias: Pandangan Dalam Al-Qur’an

Self-serving bias adalah fenomena psikilogis di mana orang terlalu over-estimate pada kemampuan dirinya. Perilaku seperti ini merupakan penyakit, sebab selalu mengaitkan kegagalan dirinya kepada keadaan eksternal. Persepsi apriori ini dilontarkan lantaran ingin mempertahankan hal-hal pada private personalnya. Artinya, orang yang terjangkit penyakit tersebut, cenderung mudah menyalahkan orang lain, akibat dari kegalalan yang dihadapinya.

Konsep self-serving bias terbentuk menjadi beberapa macam:

  1. Self-serving attribution, yakni mengaitkan kesuksesan dengan faktor internal dan menghubungkan kegagalan dengan faktor eksternal.
  2. Self-congratulatory comparisons, membandingkan dengan orang lain untuk memastikan bahwa ia adalah yang terbaik.
  3. Illusory optimism yaitu sikap optimis yang tumbuh atas dasar kemampuan diri yang berlebihan.
  4. False consensus for failings yaitu kecenderungan kaingintahuan bagaimana meningkatkan gambaran diri dengan mengukur tingkat tindakan dirinya dari pikiran orang lain.

Di dalam Al-Qur’an diilustrasikan peristiwa tentang self serving bias dan relevansinya “Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum kamu dari (golongan) jin dan manusia.” Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya, sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang yang (masuk) belakangan (kepada) orang yang (masuk) terlebih dahulu, “Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka.” Allah berfirman, “Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tetapi kamu tidak mengetahui.

Orang-orang yang (masuk) terlebih dahulu berkata kepada yang (masuk) belakgan, “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami. Maka, rasakanlah adzab itu karena perbuatan yang telah kamu lakukan,”. (QS. Al-‘Araf: 38-39).

Adapun aspek makro QS. Al-‘Araf: 38-39 berkaitan dengan keadaan ketika seseorang menaksir kemampuan dirinya di alam akhirat, yang memiliki kebiasaan menyalahkan faktor eksternal. Pada saat itu, orang pertama diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka, mencoba mempertahankan eksistensi dirinya dengan melemparkan kesalahan internal kepada koeksistensi sekitar.

Fenomena tersebut semakna dengan apa yang disebutkan oleh Nabi Ibrahim yang disitir dalam firman-Nya, “Kemudian di hari kiamat Sebagian kalian akan saling mengingkari dan saling mengutuk sebagian (yang lain)…” (QS. Al-Ankabut: 25).

Hal ini merupakan mekanisme kognitif dengan mempertahankan citra dan harga diri yang positif, sementara, perbuatan yang menyalahkan faktor eksternal atas kegagalan dianggap dapat melindungi dan membebaskan diri dari tanggung jawab pribadinya.

Penggunaan lafazh jar dan majrur yang berta’alluq pada lafal udkhuluu. Artinya, setiap umat yang masuk ke dalam neraka, maka dia akan menyalahkan orang lain, yang menjadi pendahulu mereka, jika mereka sudah masuk ke dalam neraka, mereka juga mengatakan hal demikian. Dengan memakai huruf ya dan ta, kendati mereka tidak mengetahui siksaan apa yang diterima oleh masing-masing golongan.

Dalam Al-Qur’an, perilaku ini dilarang. Sebab, hal ini menyalahi nilai-nilai fundamental, seperti tanggung jawab dan nilai humanisme. Adapun untuk mengatasi perilaku self-serving bias ialah kesadaran. Dengan kata lain, menyadari bagaimana pada saat mengambil keputusan dan mempertimbangkan semua faktor yang dapat menghindari mengambil keputusan yang asal-asalan atau serampangan.

SUMBER:

Dwi Wahyu Intani. Self-Serving Bias: Pengertian, Kerugian, dan Penanganan dari https://www.idntimes.com/health/fitness/dwi-wahyu-intani/apa-itu-self-serving-bias-c1c2

Fairuza Setya Eka Panggita. (2022). Self Serving Bias Dalam Perspektif Al-Qur’an (Aplikasi Teori Tafsir Maqashidi Abdul Mustaqim). Skripsi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
Scan the code