Melayani Suami, Apakah Tradisi Patriarki?

Dalam sebuah opini di salah platfrom media ngetweet, “Istri kok melayani suami, itu istri apa pembantu?” “Capek-capek sekolah tinggi-tinggi, ujungnya dapur, kamar, wc” “Hari gini masih nganut paham patriarki dengan dalih agama”. Sejauh ini, paham-paham feminisme yang menyebar di berbagai sudut-sudut bumi Indonesia merupakan hasil daripada mereduksi paham-paham feminis yang ada di Barat, bahkan mereka bisa dikatakan hanya membeo dan mereka tidak mengeskposisikan sebuah ideologi baru, atau bisa dibahasakan tidak memiliki keyakinan yang berubah dalam memandang keluarga. Bonnie Smith mengatakan, “Family Contructed as a Natural Heterosesual anda patriarchal unit, perfoms a variety of critical ideological services in the constitution of the nation.” bahwa keluarga terkonstruk sebagai bentuk heteroseksual alamiah sekaligus unit patriarkis.

Dalam UU no. 52 tahun 2009, Keluarga mengandung pengertian sebagai bagian terkecil dalam masyarakat yang hanya terdiri anggotanya dari suami dan istri, atau suami, istri dan anaknya. Atau jika dilihat dari kacamata penganut paham fungsional, keluarga diartikan sebagai struktur yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan juga untuk memelihara masyarakat yang lebih luas. Sederhananya, secara genaralisir mereka tidak memiliki celah untuk mengupas tentang keluarga. Oleh sebab, dalam berbagai perundangan atau dokumen yang diunifikasi sampai saat ini masih memiliki fungsi utama yang selalu disebutkan yaitu fungsi prokreasi, dan fungsi sosial pendidikan.

Para penganut paham feminis radikal menggembar-gemborkan bahwa lembaga perkawinan adalah sebuah lembaga yang hanya ditempatkan sebagai bentuk formalisasi atau akal-akalan kaum laki-laki untuk menindas kaum perempuan. Yang diterbitkan dalam, “Note from the second sex“. (1970). Lebih ekstrim dari itu, para tokoh feminis seperti sedang berpaduan suara mententang lembaga pernikahan. Marlene Dixon misalnya mengatakan, bahwa lembaga pernikahan adalah, “The chief vehicle for the perpetuation of the oppression of women.” lebih lanjut ia mengatakan, “Every mechanism of social control-moral, religious, governmental-has been used to locked women into marriage and the family.” tokoh yang lainnya Betty Freidan menulis dalam bukunya, “The Feminine Mystique” bahwa pernikahan hanya menghambat mental bagi perempuan. Ada lagi Simone de Beauvoir dalam bukunya, “The Second Sex” mengatakan, “Marriage is obscene in principle insofar as it transforms into rights and duties those mutual relations which should be founded on a spontaneous urge.”

Dengan demikian, gagasan utama para tokoh feminis, pada prinsipnya keluarga dan agama dianggap dua hal yang paling mengancam kebebasan perempuan. Pemahaman seperti ini lahir akibat dari trauma sepanjang sejarah Barat dengan perempuan, yang berimbas kepada polarisasi yang ujungnya pemahaman ini menular ke berbagai nash kitab suci Al-Qur’an dan hadis-hadis yang terkait perempuan.

Padahal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, makna ‘kebebasan’ orientasinya lebih tepat dikemas dalam konsep pilihan (ikhtiyyar) yang merupakan salah langkah untuk terbebas dari keburukan dan bukan terletak dalam kungkungan terminologi kebebasan (huriyyah) yang menggambarkan kondisi bebas dan lepas begitu saja.

Maka jika perempuan benar-benar ingin mendapatkan kebebasan, ia harus pandai dalam memilih pasangan yang terbaik atau jalan terbaik sebagai jalan berbuat adil terhadap dirinya dalam rangka pemenuhan jiwa akalinya.

Mungkin banyak tagar yang memperlihatkan kengeriannya dalam berumah tangga disebabkan oleh banyaknya informasi yang diterima (post-truht) penganiayaan dan bahkan pembunuhan di dalam rumah tangga. Istri membunuh suaminya dan sebaliknya, orang tua membunuh anaknya dan sebaliknya, itulah kasus-kasus yang sering terjadi. Melalui hal-hal tersebut, kemudian mereka berani menggugat bahwa bangunan rumah tangga dan merasa sebabnya oleh ulah dominasi laki-laki atau suami.

Islam mengajarkan suatu sistem pernikahan yang ideal untuk menjauhkan dari sifat-sifat merusak seperti disebut di atas. Dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rum: 12) dijelaskan bahwa goals pernikahan adalah untuk hidup bersama dengan jiwa kebersamaan (sakinah). Tapi bukan berarti tanpa aturan pun aturan juga bukan tanpa adanya otoritas. Otoritas diserahkan kepada suami dan suami akan mempertanggungjawabkannya atas kepemimpinannya kepada Allah di hari akhir.

Menurut Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya, “Tauhid” struktur ini bukanlah sebuah gagasan diskriminasi atau degradasi. Keduanya dikarunia kelebihan fisik dan pisikis masing-masing yang tidak saling bertentangan. Tidak mudah untuk memahami hal ini. Maka status suami terhadap istri bukan penguasa tetapi penanggungjawab. Tanggungjawab memberi materi dan non-materi (QS. An-Nisa: 4 dan 24). Kewajiban suami memberi makan dan pakaian pada istri dengan baik (QS. Al-Baqarah: 233).

Jika pasutri sudah mampu memahami konsep tersebut, insya Allah akan dimampukan untuk membangun kebersamaan, Allah akan menghadirkan rasa cinta kasih di antara keduanya. Dari rasa cinta akan menghasilkan kesanggupan berkorban. Dan cinta berbuah rasa untuk saling mengerti. Cinta juga berarti menghapus kebencian, hakikatnya adalah saling percaya. Karna cinta akan melahirkan keyakinan dalam diri.

SUMBER:
Hamid Fahmy Zarkasyi dan Mohammad Syam’un Salim. (2021) Rasional Tanpa Menjadi Liberal: Worldview Islam Untuk Framework Pemikiran dan Peradaban. Vol II

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top