
Sejak tahun 1980-an gagasan-gagasan islamisasi pernah eksis, namun sangat disayangkan istilah tersebut redup, dikarenakan tidak adanya konsistensinya dalam meneruskan konsep-konsep tersebut.
Secara umum Budi Handrianto menyimpulkan bahwa konsep-konsep islamisasi sekurang-kurangnya terdiri dari lima konsep. Pertama, Handrianto melakukan langkahnya dengan menggunakan pendekatan sains sebagai alat instrumentalistik. Yaitu pandangan yang hanya memanfaatkan sains untuk mencapai tujuan tertentu, di mana ia tidak memperdulikan daripada sifat sains itu sendiri, selama sains bermanfaat bagi yang mempelajarinya.
Kedua, yaitu dengan justifikasi, artinya membenarkan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun dari hadis-hadis yang terindikasi memiliki munasabahnya, yakni dengan memberikan fakta-fakta yang terkait dengannya.
ketiga, selanjut adalah melalui metode sakralisasi, gagasan ini pertama kali digarap oleh Seyyed Hossein Nasr, meskipun pemikirannya sekarang tergolong sekuler bahkan dinyatakan kafir oleh Mesir. Kendati demikian, Nasr mengkritik ilmu sains modern, menurutnya sains modern sekarang telah menghapuskan jejak-jejak atau tanda-tanda atas kekusaan Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap ayat-ayat yang menunjukkan kebesaran Tuhan melainkan sebuah entitas di mana alam dapat berdiri dengan sendirinya (emanasi).
Keempat, berikutnya dengan melakukan integrasi antara ilmu sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Gagasan ini dikemukakan oleh seorang pemikir Islam sebut saja namanya yaitu Ismail Raji al-Faruqi, beliau mengatakan akar dari kemundurannya umat Islam disebabkan dengan pemikiran yang mengandung unsur-unsur dualisme sistem pendidikan. Di sisi pertama, umat Islam sendiri sedang mengalami penyimpitan makna, di sisi yang kedua, umat Islam mendapat sokongan secara besar-besaran ilmu-ilmu sekuler yang diperoleh akibat hegomoni.
Al-Faruqi memberikan sebuah solusi yakni dengan membenahi kembali sistem pendidikan yang ada. Oleh itu beliau menyarankan untuk dihapuskan saja model pendidikan yang menganut paham dualisme. Dengan cara menintegralkan paradigmanya.
Kelima, konsep yang terakhir ini dinyatakan paling krusial oleh Handrianto. Dari pembendarahaan pengembangan ilmu-ilmu harus dilandaskan Paradigma Islam. Ide-Ide ini dipinjam oleh Handrianto dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurut al-Attas, tantangan ilmuwan modern, dengan beredarnya pengetahuan modern yang tidak lazim, dikarenakan ilmu ini menggiri pembelajarnya ke dalam ragu-keraguan terhadap agama. Sebab itu, islamisasi sains digaungkan kembali untuk proses membongkar kekeliruan ilmu tersebut.
Dengan demikian al-Attas mengartikan proses islamisasi sains sebagai:
“Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari paham belenggu sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya…..Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya.”
SUMBER:
Hamid Fahmy Zarkasyi dan Mohammad Syam’un Salim. (2021). Rasional Tanpa Menjadi Liberal; Worldview Islam untuk Framework Pemikiran dan Peradaban.