Alih Pendapat
Perbincangan tentang alih pendapat pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan lontaran-lontaran pendapat antar individu, komunitas, kelompok atau madzhab. Alih pendapat mencakup kegiatan mempraktikkan cara berdakwah, penyuntingan sangkalan dan pengukuhan reputasi dari satu komunitas ke komunitas lain. Pendapat berarti anggapan, perspektif, persepsi, opini dan sudut pandang, jadi alih pendapat adalah proses penarikan atau kuat-kuatan sudut pandang dari satu jenis komunitas ke komunitas lain. Sebagai sudut pandang, di suatu komunitas merupakan alat yang dipergunakan untuk memamerkan gagasan dari satu tempat ke tempat lain.
Namun, sebelum beranjak ke penjelasan selanjutnya, setidaknya ada satu konsep penting yang diliputi oleh istilah itu: pendapat adalah buah pikiran yang dimanfaatkan untuk mengungkapkan sesuatu gagasan. Sesuatu yang dialih-alihkan itu bisa berwujud peristiwa, amanat atau sekedar pengamalan. Sepanjang sejarah kita belajar bahwa masing-masing individu, komunitas, kelompok atau madzhab dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari ijtihad dan saling menopang menutupi kelemahan meskipun dalam kenyataannya individu, komunitas, kelompok atau madzhab bisa hidup rukun dan harmonis. Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam kitab sirah tentang perselisihan sahabat terkait waktu shalat Ashar di Bani Quraizhah katanya:
Bahwa sehari setelah kepulangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Madinah di waktu Dzuhur, kemudia meletakkan senjatanya dan hendak mandi di rumah Ummu Salamah, datang malaikat Jibril untuk menemuinya. Kemudia berkata, “Sungguh kalian telah meletakkan senjata. Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkannya. Keluarlah menuju mereka! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Ke mana?’ Jibril menjawab, ‘Kepada Bani Quraizhah’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan para sahabat) pergi menujunya”. (HR. Bukhari).
Menerima perintah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para sahabat untuk segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Bahkan, agar cepat sampai pada tujuan, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabat untuk shalata Ashar di pemukiman Bani Quraizhah, “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”> (HR. Bukhari).
Kendati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabat untuk melakukan shalat Ashar di sana, ada beberapa sahabat yang melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan karena khawatir waktunya akan segera habis, dan ada juga beberapa sahabat yang meneruskan perjalanannya karena sudah ada perintah dari Rasulullah, dan tentunya juga dilarang melakukan shalat sebelum sampai pada tujuan.
Karena berbeda pendapat, para sahabat memberanikan diri untuk menyampaikan semua itu kepada Nabi Muhammad, khawatir apa yang dilakukannya terjerumus pada kesalahan. Namun, beliau tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.
Kalau kita perhatikan Nabi sangat jelas dan tegas ketika memerintahkan para sahabat, “Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”. Kalau kelompok sahabat yang fokus hanya kepada konteks literalnya saja, maka mereka akan memahaminya tidak diperbolehkan untuk shalat Ashar kecuali setelah sampai di pemukiman Bani Quraizhah. Sedangkan sahabat yang memiliki pemahaman multitafsir karna beberapa faktor, mereka akan mengaitkannya dengan shalat yang memiliki waktu-waktunya tersendiri dan berpikir waktunya akan habis sebelum sampai di pemukiman Bani Quraizhah, oleh karenanya mereka melaksanakannya di tengah perjalanan menuju Bani Quraizhah. Yang salah jelas bukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi para sahabat yang punya alat pendengaran yang berbeda-beda kemampuan mendengarnya. Atau mungkin juga bukan telinga para sahabat yang salah, tapi cara para sahabat memahaminya. Sabda Nabi adalah bunyi dan tidak bisa para sahabat mengaturnya untuk mengulangi lagi, karna sabda Nabi setelah diucapkan lenyap begitu dilisankan. Jadi yang bermasalah mungkin cara para sahabat mentransfer bunyi menjadi sebuah pemahaman. Inti masalahnya sederhana saja: sebuah hadis atau sabda Rasul yang sama menjadi berbeda kalau ditransfer menjadi sebuah pemahaman dan pengamalan oleh masyarakat-masyarakat yang berbeda pula.
Demikianlah, misalnya dalam hal ijtihad lain ketika Imam Malik dan Imam Syafi’i menyikapi rezeki. Dikisahkan dalam suatu majelis ilmu ilmu, Imam Malik (179 H) yang merupakan guru dari Imam Syafi’i (204 H) mengatakan bahwa rezeki itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup hanya dengan bertawakkal dengan benar, niscaya Allah akan memberikannya rezeki, “Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya,” demikianlah pendapat Imam Malik.
Imam Malik menyandarkan pendapatnya itu berdasarkan sebuah hadis Rasulullah: “Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung-burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang”.
Ternyata Imam Syafi’i memiliki pandangan lain. Beliau mengemukakan pendapatnya kepada sang guru. “Ya Syekh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?.
Imam Syafi’I menyampaikan pendapat bahwa untuk mendapatkan rezeki dibutuhkan usaha dan kerja keras. Rezeki tidak datang sendiri, melainkan harus dicari dan didapatkan melalui sebuah usaha.
Guru dan murid yang merupakan pendiri mazdhab itu berijtihad pada pendapatnya masing-masing. Hingga suatu ketika, saat Imam Syafi’i berjalan-jalan, beliat melihat serombongan orang sedang memanen buah anggur. Beliau pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi’i mendapat imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafi’i senang bukan kepalang. Beliau senang bukan karena mendapatkan anggur, tetapi karena memiliki alasan untuk menyampaikan kepada Imam Malik bahwa pendapatnya soal rezkei itu benar.
Dengan bergegas Imam Syafi’i menjumpai Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, Imam Syafi’i menceriatakan pengalamannya seraya berkata: “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akn pernah sampai di tangan saya”.
Mendengar itu, Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Kemudian Imam Malik berucap pelan. “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambal membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya”.
Imam Syafi’I langsung tertawa mendengar penjelasan Imam Malik tersebut. Sang guru dan murid itu kemudian tertawa bersama. Begitulah, dua imam madzhab mengambil dua hukum berbeda dari hadis yang sama.
Imam Malik dan Imam Syafi’i mengajarkan kepada umat Islam bagaimana menyikapi perbedaan. Keduanya tak saling menyalahkan lalu membenarkan pendapatnya sendiri. Begitulah indahnya Islam apabila saling menghormati dan saling berkasih-sayang.
Di kawasan tertentu khususnya di Indonesia, seperti kompleks perumahan atau perkampungan, masih ada kemungkinan saling meneriaki wajib qunut dan tidak qunut, saling mengadu lantang pendapat yang memekakkan dan pasti mengganggu, ujungnya berselisih, memanas dan tak berkesudahan. Satu-satunya jalan keluar dari situasi yang bisa memanas itu adalah mengalihpendapat dari sebuah hadis menjadi pemahaman yang menyejukkan semua kalangan, komunitas, kelompok atau madzhab.
Kata Ustadz Bachtiar Nasir jika ingin menuju generasi Indonesia emas, Indonesia gemilang di masa yang akan datang, bukan waktunya lagi untuk saling menjatuhkan, saling berselisih tentang permasalahan furu’ (cabang) tapi perkuatlah pemahaman tauhid, tanamkanlah pemahaman itu kepada genarasi-generasi muda yang nantinya akan meneruskan perjuangan. Tepikan dahulu permasalahan-permasalahan tersebut, bangunlah gerakan itu semua bermula dari masjid. Sebuah strategi yang berasal dari masjid ini merupakan tradisi peran sejarah yang ada di Islam, yang dijalankan oleh para ulama terdahulu. Jangan pisahkan antara masjid, politik, pendidikan, dan pembangunan generasi, mulailah semua itu dari masjid-masjid.
SUMBER:
Rusman H siregar. (2020). Kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i Tertawa Menyikapi Rezeki dari
NUOnline. (2022). Perang Bani Quraizhah di Bulan Dzulqa’dah: Sejarah Penghianatan dari https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/perang-bani-quraizhah-di-bulan-dzulqa-dah-sejarah-pengkhianatan-6oPpS