Dalam tradisi Islam kemudian muncul cara menawarkan yang sama sekali baru, yakni lewat pemisahan urusan agama dengan urusan duniawi yang berasal dari Barat. Di kawasan tertentu, seperti kompleks negara-negara Barat masih ada kemungkinan meneriakkan kata sekuler. Namun, di beberapa kawasan yang boleh dikatakan padang Arab khususnya pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelahnya (sahabat), mendengar kata sekuler pasti akan dicegah dan merasa terganggu, karna pegangan terhadap Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih kuat terjaga. Satu-satunya jalan keluar dari situasi tersebut agar bisa disekulerkan adalah mengalihwahanakan Al-Qur’an dan sunah menjadi aksara. Aksara pada umumnya hanya menunjukkan sebuah simbol kekhasan masing-masing, tidak memiliki kesakralan hanya keberaksaraan; karna jika dianggap aksara saja, Al-Qur’an dan sunah tidak bisa menjadi bermanfaat bagi pelakonnya.
Pengenalan pertama kali istilah sekuler adalah hasil dari pratik di negara-negara Barat; di dalamnya jika dibedah lebih jauh kita akan mengetahui visi, misi, dan bahkan juga strategi. Barat sebagai salah satu agen liberal, liberalisasi tentunya juga sekuler. Dalam mensekulerkan, yang berkembang sekarang ini tidak hanya bergantung pada hegomoni tetapi juga imprealisasi, kadang-kadang tanpa kita pertimbangkan pemikiran sekuler sudah melebur menjadi budaya yang diterapkan sehari-hari. Keberadaan agen dalam satu kelompok tersebut menunjukkan bahwa konsep sekularisasi sangat lentur. Itu sebabnya banyak terjadi pandangan bahwa tindakan memisah-misahkan agama dengan urusan duniawi adalah perbuatan relevan, seolah-olah masing-masing bisa berdiri sendiri dan bisa pisah di tempat berbeda antara agama dan urusan duniawi.
Perjalanan sejarah yang panjang yang bermula pasca trauma sejarah yang menjadi alasan yang menjadi wahana sekularisasi merupakan gejala khas Barat. Hampir semua jenis liberalisasi prosesnya serupa, dengan strategi dan dampak yang sejalan. Peralihannya dari wahana pasca trauma sejarah di WTC pada 11 September 2001 dengan mengkambinghitamkan Muslim dengan segala jebakannya. Setelahnya, kemudian menjadi alasan kuat untuk memisah-misahkan antara agama dengan urusan duniawi, di beberapa tempat alasan tersebut di buat masuk akal, yang merupakan tafsir yang mengandung ideologi baru, dan turunanya menjadikan Muslim sebagai perangkat pendekatan baru dalam upaya penyebaran paham sekuler.
Dalam proses yang terus-menerus berganti itu, tentu timbul ciri atau watak tertentu yang berbeda, yang sebelumnya tidak dikenal, antah-berantah entah datang dari mana. Kalau jauh sebelumnya, negara adidaya, atau negara maju dinilai dari kebermoralan manusianya atau dari sisi keadaban yang dimilikinya, bukan hanya sesama manusia, tapi juga sadar akan hubungannya dengan Tuhannya, sadar menempati posisinya sebagai hamba, dan tidak berlaku semena-mena. Keberadaan Islam memang dimulai dari keterasingan, bukan berarti sebagai asas mengecilnya keberanian kita untuk tetap lantang menyuarakan ajaran Tauhid, ini perihal urgensi ke-izzah-an sebagai seorang Muslim.
Sebagaimana Al-Attas lantang menyuarakan, “Remember that we are a people neither accustomed nor permited to lose hope and confindence, so that it is not possible for us simply to do nothing but wrangler among ourselves and rave about empty slogans and negative activism while letting the real challenge of the ege engulf us without positive resistance. The real challenge must be mounted from the fortification not merely of political power, but of power that is founded upon right knowledge” (Prof. SMN al-Attas, Islam and Secularism, xvi).
Muhammad Asad, “The imitation -individually and socially- of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence -or rather, the revival- pf Islamic civilization.” Lanjutnya, “In order to achieve the regeneration of the world of Islam, -A Muslim must live with head held high. He must realise that he is distinct and different from the rest of the world, and he must learn to be proud of his different. He should endeavor to preserve this different as a preacious quality and pronouonce it boldly to the word” (Islam at Crossroads, 72).
Negara yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diawali di kota Madinah adalah negara adidaya, negara berstatus maju, satu-satunya negara yang memiliiki alinea yang teralisasikan yakni piagam Madinah.
Ketika membaca buku-buku sejarah kita bisa menciptakan imaji visual lewat kata yang dihidangkan tapi gambaran itu hanya ada dalam pikiran kita. Sedangkan buktinya diperkuat melalui lisannya yang mulia, “Sebaik-baik umatku adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelah mereka,” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal tersebut benar-benar kita yakini terkhusus sebagai umat Muslim dan setiap kata yang dilontarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang bisa di percaya bahkan dihadapan musuhnya sekali pun, karna bersumber dari wahyu, “Ia (Al-Qur’an itu) tidak lain, kecuali wahyu yang disampaikan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang sangat kuat (Jibril)”. (QS. An-Najm: 4-5).
Para pembaca buku sejarah, dalam perspektif keislaman, setidaknya, sekurang-kurangnya harus simultan dengan pengetahuannya terkait teks ayat dalam Al-Qur’an, yang harus dipahami dan dihayati nilai-nilai, atau perlambangan yang melandasi sebuah kisah, misalnya pada ayat, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik,” (QS. Ali’imran: 110). Jelas yang dituju di sini sebagaimana yang sudah disabdakan, ‘yang hidup di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelahnya (sahabat).
SUMBER:
Catatan dari Pidato Akhir Tahun. (2024). Berislam Dengan Izzah. INSISTS. Keynote speaker Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dan Dr. Nirwan Syafrin Manurung.