AQL Peduli, Khazanah – Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga macam, yaitu kesabaran dalam ketaatan, meninggalkan maksiat, serta menghadapi musibah dan takdir Allah yang tidak disukai. Sebagian ulama lagi menegaskan, jenis sabar yang paling tinggi adalah sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Sebab, ketaatan itu lebih utama dari meninggalkan maksiat.
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?’’ (QS Maryam: 65).
Sabar dalam ketaatan mencakup sabar sebelum melakukan ketaatan dengan meluruskan niat untuk ikhlas hanya karena Allah, sabar ketika melakukan ketaatan adalah melakukannya dengan terbaik sesuai tuntunan Rasulullah, dan bersabar setelah melakukan ketaatan dengan tidak bersikap ujub membanggakan ibadah yang telah dilakukan karena belum tentu diterima Allah.
Imam Syafi’i berkata, “Di Madinah aku melihat empat hal aneh, salah satunya, seorang kakek berumur 90 tahun sepanjang hari berjalan tanpa alas kaki mengunjungi para penyanyi wanita untuk diajarkannya bernyanyi. Namun, ketika datang waktu shalat, ia shalat dengan cara duduk. Hal ini menunjukkan betapa beratnya taat itu bagi mereka yang tidak diberikan taufik oleh Allah.”
Al-Qur’an menginformasikan bahwa salah satu cara bersabar adalah dengan selalu bersama orang-orang taat. Hal ini termaktub dalam surat Al-Kahfi ayat 28. Allah SWT berfirman;
“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya itu melewati batas.”
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa perilaku orang taat itu didominasi dua hal. Pertama, di awal pagi ia selalu berharap dan berdoa kepada Allah agar hari ini mendapatkan taufik, yaitu bersatunya keinginan hamba dengan kehendak (iradah) Allah. Dengan demikian, keseluruhan harinya dapat diisi dengan beribadah hanya kepada-Nya.
Kedua, di akhir siang dan awal malam ia senantiasa beristighfar, mengevaluasi segala apa yang dijalaninya pada hari ini dan mengakhirinya dengan bertobat kepada Allah. Maka itu, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bersama orang yang taat agar bisa bersabar dalam ketaatan. Ini karena lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
“Seseorang mengikuti agama kawannya. Karena itu, lihatlah olehmu siapakah yang menjadi kawanmu.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam surah al-Kahfi ayat 28 di atas, Allah juga melarang hamba-Nya untuk memalingkan wajah dari orang-orang taat hanya karena menginginkan kesenangan dunia yang bersifat sementara. Manusia juga dilarang menjauhi orang-orang taat hanya karena mereka terlihat miskin tak berharta. Nilai kesenangan dunia bagi Allah tidaklah lebih baik daripada sayap nyamuk.
Dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi ra. ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Kalau dunia itu sebanding dengan sayap nyamuk di sisi Allah, pasti Allah tidak akan memberi minum seteguk air minum pun untuk orang kafir.” (HR Bukhari).
Untuk menjaga konsistensi ibadah, Allah juga mengingatkan manusia tidak mengikuti orang-orang yang memiliki hati lalai. Hati lalai itu membuat seseorang lupa berzikir kepada Allah dan lupa berbuat baik untuk kehidupan akhirat kelak. Mereka ini adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan segala urusannya akan berakhir dengan kesia-siaan.
Meski kelompok itu terlihat mempunyai harta dan kekuasaan, tetapi itu tidak mendatangkan kebahagiaan di dunia, tidak menenangkan hatinya, dan tidak akan mendatangkan kebahagiaan di akhirat.
Semoga kita termasuk yang diberi taufik oleh Allah sehingga mampu bersabar bersama hamba-hamba-Nya yang selalu melakukan ketaatan kepada-Nya. (Admin)